LAUT BERCERITA / Leila S. Chudori text Jakarta : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2022 ind Bagaimana bisa sebuah rezim otoriter dapat terus bertahan selama lebih dari 30 tahun di Indonesia? Nyatanya, pada zaman Orde Baru di bawah langgengnya kediktatoran rezim Soeharto tersimpan sejarah kelam bangsa Indonesia dengan segala tindakan tidak manusiawi pemerintah yang terkubur bersama hilangnya para aktivis pembela rakyat secara misterius. Hilangnya 13 aktivis masa Orde Baru dalam cerita ini hanyalah sepenggal cerita kelam Orde Baru yang terungkap. Inilah kisah mengenai perjuangan, kehilangan, kekejaman, cinta, dan harapan dari mereka yang dihilangkan. Babak pertama novel terjadi pada rentang waktu tahun 1991 hingga 1998 melalui perspektif Biru Laut Wibisana, seorang mahasiswa Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada yang merupakan tokoh utama dalam novel ini. Laut memiliki ketertarikan dengan karya sastra ‘terlarang’ pada masa itu hingga dirinya nekat mencetak ulang novel karya Pramoedya Ananta Toer. Berkat ketertarikannya tersebut, Laut mengenal Kasih Kinanti, salah satu aktivis yang mengenalkan Laut kepada organisasi Winatra dan Wirasena. Organisasi tersebut pada akhirnya menjadi tempat bagi Laut dan kawan-kawannya untuk berdiskusi mengenai berbagai macam hal khususnya hal-hal yang dilarang pemerintah Orde Baru. Mereka berupaya melakukan berbagai macam aksi dengan orientasi mengubah tata pemerintahan Indonesia agar menjadi negara demokrasi yang tidak antikritik; bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); dan dapat menyejahterakan seluruh rakyat. Sungguh janggal dirasa bahwa pihak aparat negara seolah selalu mengetahui rencana aksi yang telah disusun dengan matang oleh Winatra sehingga aksi tersebut dapat digagalkan dengan mudah oleh aparat negara. Puncaknya terjadi pada bulan Maret 1998. Setelah bersembunyi dan berada dalam pelarian, akhirnya tibalah giliran aktivis Wirasena untuk ditangkap oleh aparat negara. Mereka disekap di ruang bawah tanah, diinterogasi, dan disiksa secara brutal tanpa mengetahui bagaimana nasib esok hari. Beberapa aktivis dilepaskan, tetapi beberapa orang lainnya hilang tanpa jejak hingga detik ini termasuk Laut. Mereka yang dilepaskan memang dapat menghirup udara bebas kembali, tetapi waktu tidak akan pernah menyembuhkan luka yang mereka tanggung. Babak kedua berlanjut dengan latar belakang tahun 2000 hingga 2007 yang disajikan melalui perspektif Asmara Jati, adik Laut, seorang mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia. Sudah dua tahun sejak Laut menghilang, tetapi tidak ada sedikitpun kejelasan yang diterima keluarga mengenai hilangnya sosok Laut. Bagian ini tidak lagi diisi dengan narasi Laut mengenai penyiksaan, teror, dan kepedihan yang diterimanya. Akan tetapi, bagian ini dipenuhi rasa kesedihan, kehilangan, keputusasaan, dan ketidakpastian mereka yang ditinggalkan. Keluarga Laut, teman-teman Laut, dan keluarga aktivis lainnya hanya memiliki bahu satu sama lain untuk bersandar sebab ketidakjelasan nasib Laut dan aktivis lainnya yang hilang. Begitu banyak halangan yang mereka lalui demi menuntut keadilan, tetapi mereka tidak pernah berhenti untuk terus berharap. Mereka tetap melanjutkan perjuangan untuk menyingkap kebenaran dan menuntut keadilan kepada pemerintah atas nasib orang yang mereka cintai. fiksi Indonesia, prosa Indonesia URN:ISBN:978-602-424-694-5