BUYA HAMKA Serangkai makna Di Mihrab Ulama Akmal Nasery Basral text Jakarta Republika 2012 Cet 1 ind
text
regular print
338 hlm ; 13,5cm x20,5cm
Akmal Nasery Basral HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) yang berkibar namanya sebagai pujangga seiring terbitnya roman Tenggelamnya Kapal van der Wijck, bertemu dengan Bung Karno untuk pertama kali di Bengkulu, 1938, atas ide Abdul Karim Oei Tjeng Hien. Namun kedatangan Jepang tak lama kemudian membuat posisi HAMKA di Medan menjadi kontroversial di mata umat akibat kedekatannya dengan penguasa militer. Di awal era 50-an, HAMKA membawa keluarganya pindah ke Jakarta. Di kota ini, selain menjadi motor berdirinya Masjid Agung Al Azhar, kiprahnya di bidang politik semakin kuat dengan aktif di Badan Konstituante dan berbagai lawatan ke luar negeri. Memasuki dekade 60-an fitnah bertubi-tubi menyerangnya. Dari tuduhan melakukan plagiarisme karya, hingga ditangkap karena dituduh berkomplot untuk membunuh Presiden Soekarno. Akmal Nasery Basral menyajikan kisah Buya Hamka usia 31 tahun sampai wafat ini sebagai kelanjutan kisah Setangkai Pena di Taman Pujangga (2020). Pembaca bukan hanya mendapatkan narasi kronologis dari kehidupan sang ulama-pujangga berjuluk Iqbal dari Indonesia atau Ibnu Taimiyah Bangsa Melayu ini, melainkan juga akan merasakan hangatnya Hamka sebagai seorang suami, ayah, dan nambo (kakek) bagi para cucu. Mengapa Buya Hamka masih mau menjadi imam shalat Jenazah saat Soekarno wafat? Padahal tokoh itu yang menyebabkan Buya ditakan selama di penjara tanpa alasan yang jelas dan membredel majalah yang Buya kelola sehingga tak bisa beredar lagi. Itu semua tetap Soekarno lakukan bahkan saat ia telah menganggap ayah Buya seperti ayahnya sendiri! Biografi Tokoh Islam 920.0598 920.0598 AKM b 978-623-279-137-4 231004 20231004081557 INLIS000000000001531 Converted from MARCXML to MODS version 3.5 using MARC21slim2MODS3-5.xsl (Revision 1.106 2014/12/19)