05139 2200301 4500001002100000005001500021035002000036007000300056008004100059020001800100082001100118084001700129100001700146245006500163250001100228260004500239300002100284500427700305600005504582990002504637990002504662990002504687990002504712990002504737990002504762990002504787990002504812INLIS00000000000033420220104090247 a0010-1121000020ta220104 d p ind  a979-98220-2-5 a808.81 a808.81 JAB i1 aJabbar Hamid1 aIndonesiaku :bSepilihan Sajak Hamid Jabbar /cHamid Jabbar aCet. 2 aJakarta :bMajalah Sastra Horison,c2005 a232 hlm ;c21 cm aSehelai karcis di genggaman, hari senja dan kulihat engkau terpampang dalam headline dan tajuk rencana koran-koran ibukota. Engkau tersenyum dan sakit gigi. Engkau malu-malu bagai kucing (entah mengeong entah mengerang entah marah entah sayang) yang terpendam dalam deretan kata-kata nusantara yang lalu-lalang keluar-masuk dalam kedirianku. Engkau tegak dan tumbang sepanjang hari: bengkalaian sajak-sajak para penyair yang sempat terbit, dicetak dengan rasa sesal serta malu yang purba. Dan Maghrib pun menggema dan bel berdering nyaring dan aku terdesak ke tepi nian; namun masih sempat membayangkan engkau, kasihku, meskipun dengan terbata-bata. jalan berliku-liku jalan berliku-liku tanah airku tanah airku penuh rambu-rambu penuh rambu-rambu indonesiaku indonesiaku Sebuah tas di pangkuan, terbentang malam dan kurasakan engkau tunggang-langgang berpacu, bus tua yang tua-tua keladi (dipermak ditimbun di kali berkali-kali) menangis dan bernyanyi seperti deretan mimpi-mimpi. Engkau yang duduk terantuk-antuk dalam pasaran dunia yang berdiri memaki-maki sepanjang jalanan gelombang berliku-liku yang membadaikan tikaman hujan rambu-rambu hingga aku terpelanting jauh ke belakang, namun masih sempat membayangkan jarak yang telah dan akan dilalui (suka tak suka mandi berenang dalam telaga luka nanahmu o tanah airku), meskipun dengan terbata-bata. jalan berliku-liku tanah airku penuh rambu-rambu indonesiaku Sekujur tubuh di perjalanan, malam yang akan berdentang-dentang dan kaulihat aku puntang-panting memburumu dari tikungan ke tikungan. (Barangkali berjuta pohon telah tumbang dalam pacuanmu. Barangkali berjuta mulut telah mengeringkan tanahmu o indonesiaku. Barangkali berjuta ke mulut telah menguap-udarakan segala airmu pengap o indonesiaku. O siapakah yang telah tercerabut, sayangku: engkau tanah airku atau aku anak negerimu?) Tetapi aku sungguh merasa malu ketika kudengar engkau menyanyikan rasa tak berdaya anak negerimu diancam ledakan-ledakan berangan akan purnama sepanjang malam. Dan engkau pun menangis ketika malu kita jadi malu semua : tertera dalam peta kita, luka-luka dan nyeri terbata-bata. jalan berliku-liku tanah airku penuh rambu-rambu indonesiaku Sebibir duka tersangkut di bibir ngarai, anak negerimu terjaga dan berhamburan ke jalanan. Bulan sepotong di atas luka o awan mengelilinginya bagai nusantara. “Sebagai supir, saya tak begitu mahir," kata seorang yang mengaku supir. “Sebagai penumpang, kita tak begitu lapang," terdengar seseorang mendengus. “Huss!” tulis kamus. “Kita membutuhkan lapang!” teriak orang-orang. “Kita memerlukan kebebasan, “dengus rambu-rambu dan tiang-tiang. “Tetapi perjalanan harus dilanjutkan”, tulis travel biro dalam iklan. Orang-orang membeli karcis dan kursi Orang-orang duduk menari hi-hi Orang-orang menari sambil memaki-maki. Orang-orang memaki sampai bosan. Orang-orang bosan dan bosan Bus-bus jalan. Nusantara terpotong-potong karena bulan terpotong-potong “Itu Pulau Sumatera,” kata seseorang menunjuk awan di tepi-tepi bulan. “Bukan, itu Pulau Kalimantan,” bantah seseorang sambil makan udang. “Salah, yang tepat adalah Pulau Jawa,” kata kondektur sambil minum bajigur. jalan berliku-liku jalan berliku-liku tanah airku tanah airku penuh rambu-rambu penuh rambu-rambu indonesiaku indonesiaku Sepanjang jalanan sepanjang tikungan sepanjang tanjakan sepanjang turunan rambu-rambu bermunculan. Seribu tanda seru memendam berjuta tanda tanya. Seribu tanda panah mencucuk luka indonesiaku. Seribu tanda sekolah memperbodoh kearifan nenek moyangku. Seribu tanda jembatan menganga ngarai wawasan si Badai si Badu. Seribu tanda sendok garpu adalah lapar dan lapar yang senyum-senyum di luar menu. Seribu tanda gelombang melambung hempaskan juang anak negerimu. Seribu tanda-tanda dijajakan berjejal-jejal di mulutmu. Seribu tanda-tanda seribu jalanan seribu tikungan seribu tanjakan seribu turunan liku-liku o luka tanah airku dalam wajahmu indonesiaku. jalan berliku-liku jalan berliku-liku tanah airku tanah airku penuh rambu-rambu penuh rambu-rambu indonesiaku lukamu lukaku 4akumpulan karya sastra lebih dari satu kesusastraan a00549/PSMUH/Hib/2005 a00550/PSMUH/Hib/2005 a00551/PSMUH/Hib/2005 a00552/PSMUH/Hib/2005 a00553/PSMUH/Hib/2005 a00554/PSMUH/Hib/2005 a00555/PSMUH/Hib/2005 a00556/PSMUH/Hib/2005