05974 2200217 4500001002100000005001500021035002000036007000300056008004100059020002200100082000800122084001400130100001700144245003300161250001100194260002900205300003900234500542100273600003705694990002505731INLIS00000000000036320220103014335 a0010-0122000006ta220103 d 1 ind  a978-602-9225-84-6 a813 a813 RUS m1 aRuslih Marah1 aMemang Jodoh /cMarah Ruslih aCet. 1 aBandung :bQanita,c2005 a536 hlm :bTanpa Gambar ;c20,5 cm aBuku ini menceritakan tentang idealisme seorang pemuda bernama Marah Hamli untuk memperjuangkan cinta yang dari awal diyakininya adalah jodohnya. Hamli sendiri adalah seorang bangsawan Padang. Ayah Hamli juga merupakan bangsawan Padang yang sangat terpandang. Ibu kandung Hamli sendiri adalah Bangsawan Jawa yang telah memutuskan untuk patuh dan taat kepada adat bangsawan Melayu. Waktu berjalan cukup cepat. Pemuda yang potensial dan cerdas seperti Hamli telah menamatkan sekolahnya di Sekolah Raja di Bukit Tinggi. Hamli juga diterima disalah satu sekolah di Belanda, namun tentu saja ini tidak diambil Hamli karena ibu Hamli yakni Siti Anjani sangat tidak terima akan hal ini. Siti Anjani takut Hamli melupakan adat Minang dan tertarik dengan perempuan disana. Berdasarkan diskusi sengit Hamli dan ibunya, maka Hamli memutuskan untuk berkuliah di Ilmu Pertanian Bogor ditemani nenek Tercinta yakni Siti Khadijah. Selama kuliah disana, Hamli menderita sebuah penyakit yang cukup aneh. Ia mengalami sakit Pilu yang sangat hebat, sakitnya tidak dapat disembuhkan begitu saja. Namun entah mengapa penyakit pilu tersebut sirna ketika Tuhan menakdirkan Hami bertemu dengan seorang gadis bernama Nyai Raden Asmawati. Raden Asmawati kebetulan merupakan perempuan Bangsawan Sunda. Melihat Hamli sembuh secara berangsur-angsur dikarenakan adanya Raden Asmawati Din Wati ini, Nenek dan bibi Hamli ingin menikahkan Hamli dan Din Wati. Tentu saja pihak keluarga Din Wati tidak mempercayai dan menerima hal ini karena memang Hamli adalah orang jauh, namun pernikahan yang direncanakan ini mendapat izin dari Nenek, bibi, paman dan juga ayah Hamli di Medan. Tidak sampai disini, berita ini tentu sampai ke Padang, keluarga besar Hamli menyalahkan Ibu Hamli, yang menurut mereka bahwa ibu Hamli tidak dapat menjaga anaknya dengan baik, padahal Hamli sebenarnya akan dijodohkan dengan puteri baginda raja saudaranya. Jika Ananda tidak diizinkan kawin dengan Hamli, biarlah Ananda mati bersama-sama dengan dia; Karena dia pun tak akan mau hidup lagi di atas dunia ini jika tidak bersama-sama Ananda,” -Din Wati- Suatu hari ayah Hamli dan Ibu tirinya di Medan sangat menginginkan Hamli untuk datang ke Medan bersama Din Wati. Disana sambutan meriah pun tak kalah meriah untuk menyambut Hamli dan istrinya Din Wati, namun kemeriahan ini juga disertai ujian yang tak kalah hebatnya. Di Medan Hamli sempat terkena tipu daya dari orang-orang yang ingin menjemput paksa Hamli untuk menikah dengan perempuan asli Minang, namun tentu saja Hamli bertekad untuk menolaknya, prinsip dan kesetiaan Marah Hamli memang tidak bisa diragukan lagi. Tidak sampai disitu, tipu daya, hasutan dan fitnah terus mendera Hamli dan istrinya Din Wati, karena memang saudara Hamli yang tersebar di Jakarta, Surabaya, Bandung dan lain sebagainya sangat menginginkan Hamli dan Din Wati berpisah, dengan begitu Hamli akan dipaksa menikah dengan Perempuan Padang. Setelah menamatkan sekolahnya di Bogor, Hamli memutuskan untuk pulang ke Padang, namun sementara Din Wati tidak ikut serta karena ia masih trauma dan takut karena peristiwa Hasutan dan fitnah saat ia di Medan beserta Hamli. Setelah kepulangan Hamli ini, maka keluarga besar sanak saudara semuanya mengadakan pertemuan. Dimana pertemuan ini sangat memojokkan Hamli karena Hamli dipaksa menceraikan Din Wati dan menikah dengan perempuan Padang. Seperti Kepribadian Hamli yang teguh, ia tetap bersi kukuh menolaknya karena Cintanya pada Din Wati istrinya. Peristiwa itu tidak terjadi hanya pada Hamli, tetapi juga pada Din Wati. Din Wati yang merupakan bangsawan Sunda pun mendapatkan ujian hampir serupa, ia mendapat pinangan serta hasutan dari keluarga besarnya tentang keburukan Hamli, terlebih-lebih tentang bangsawan padang yang senang Poligami, tetapi tentu saja Din Wati percaya pada suaminya, tidak akan melakukan hal itu. Ujian terberatnya adalah disaat bertugas di Semarang, ada surat untuk Hamli dari rekan ayahnya yang isinya adalah suruhan penjemputan istri kedua Hamli yang hendak ke Semarang. Ternyata Hamli dijemputb dan Diwali-nikahkan oleh pamannya di Pdang dengan perempuan asli Minangkabau. Karena hal tersebut tentu Din Wati sangat kaget, sakit hati dan ingin meninggalkan Hamli suaminya, namun keesokan harinya Din Wati mendapatkan kabar bahwa istri Hamli yang di Padang tersebut meninggal dunia. Din Wati lalu memutuskan tetap bersama Hamli dan tidak jadi meninggalkannya. Waktu berjalan cepat. Sudah saatnya Hamli pension dari pekerjaannya. Meski pemerintah masih sangat membutuhkan Hamli namun dikarenakan kondisi Hamli yang tidak memungkinkan, maka pemerintah mengizinkan Hamli untuk pensiun. Sejak pensiun ia tinggal di Salabintana Sukabumi dengan keluarganya. Genap pernikahan ke-50 Hamli menuliskannya kisah ini lalu cerita ini baru dipublikasikan sebagai autobiografi setelah semua tokoh ini meninggal dunia yakni 50 tahun lamanya. Roman yang penulis kira luar biasa dan menginspirasi. Itu adalah alasan kuat penulis mereview novel yang satu ini. Marah Hamli adalah tokoh lelaki yang bertekad kuat, berprinsip dan juga setia. Yang dilakukan tidaklah sepenuhnya salah. Bukan berniat menentang adat-istiadat tetapi ada beberapa adat yang kurang adil jika tetap diterapkan di zaman seperti ini. Cinta adalah hal mulia yang harus diagungkan apapun rintangannya, asal itu bukan hal yang salah, kita harus tetap memperjuangkannya. 4afiksi Indonesia, prosa Indonesia a00820/PSMUH/Hib/2005