Cite This        Tampung        Export Record
Judul Miss Pesimis / alia zalea
Pengarang Alia Zalea
EDISI cet. 1
Penerbitan Jakarta : Gramedia, 2010
Deskripsi Fisik 272 hlm ;20 cm
ISBN 978-979-22-5241-5
Subjek Fiksi Indonesia
Catatan Sejak kali pertama melihat Ervin yang bak Dewa Yunani itu, Adriana sudah jatuh hati pada laki-laki yang ternyata adalah calon teman kantornya sendiri. Namun, jejak cinta pertamanya di SMP dulu pada Baron mengaburkan debaran-debaran aneh setiap berdekatan dengan Ervin. Jauh sebelum bertemu Ervin Adriana sempat menjalin hubungan dengan bule di Amerika, dimana Adriana terpaksa menolak lamarannya karena cinta terpendamnya pada Baron yang masih disemainya. Ketika muncul keberanian Adriana mengutarakan isi hatinya pada Baron, ia justru shock mendengar kabar bahwa sang pujaan hatinya itu akan segera bertunangan dengan Olivia, teman SMP mereka. Demi menata hatinya, Adriana mencurahkan waktunya ke pekerjaan dan mempererat persahabatan dengan Ervin. Tetapi, dunia seolah sedang mempermainkannya, karena meskipun telah mencoba memblokir segala kemungkinan ia bertemu dengan Baron, justru laki-laki itu yang menemukannya. Puncaknya, ketika Adriana tak lagi bisa menghindar dari Baron di pesta reuni SMP. Dan, sadarlah Adriana bahwa sebenarnya dari sejak dulu Baron juga mencintainya. Namun, di saat yang sama mengapa ia menjadi ragu? Mengapa ia menjadi tak lagi percaya bahwa Baron-lah yang dia inginkan menjadi kekasih hatinya? Tak mau menyakiti Olivia, Adriana kemudian menolak lamaran Baron. Meski begitu, perih yang menyiksa batinnya ternyata tak dapat disingkirkannya semudah yang ia bayangkan. Maka ketika Ervin mengajaknya pergi berlibur, Adriana dengan berat hati menyetujuinya. Di tempat liburan, Adriana bertekad melupakan Baron dengan melakukan hal-hal gila yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Dan siapa yang menyangka kalau hal-hal gila itu ia lakukan bersama Ervin? Lalu, ketika Adriana menyadari bahwa ia hamil, apakah ia akan menuntut Ervin untuk bertanggung jawab, padahal Adriana merasa Ervin tak pernah menganggapnya sebagai seseorang yang spesial? Hanya sebagai serep ketika tak ada lagi perempuan yang tersisa untuk diajak kencan olehnya? Menyimak lembar-lembar pertama novel ini, saya sangat lega, bahwa akhirnya terbit juga sebuah novel dalam line metropop-nya Gramedia dengan pakem yang sudah saya suka dari awal kemunculan line ini. Belakangan saya seperti kehilangan selera membaca novel-novel metropop yang sepertinya tak lagi memiliki "something" yang seingat saya membuat saya tergila-gila. Beberapa diantaranya bahkan menerbitkan rasa sesal karena membelinya. Masih dengan taburan tema klise dan adegan daur-ulang, Miss Pesimis tampil memukau dengan beberapa dialog cerdasnya yang mengingatkan saya pada film drama Hollywood favorit, When Harry Met Sally, Before Sunset, It's Complicated, dan sebagainya. Dan, ya, novel ini memang memiliki alur dan adegan seperti kebanyakan film-film tersebut. Bebas, ceria, kadang ekstrim, dan selebihnya menyenangkan. Bagi kebanyakan perempuan yang menyukai film drama Hollywood mungkin akan jatuh suka juga dengan novel ini. Ceritanya mengalir lancar dan menyegarkan. Namun demikian, saya menganjurkan untuk juga menganggap novel ini hanya sekadar hiburan semata. Begitu selesai, ya sudah, cukup mengomentari jalan cerita atau tingkah polah para tokohnya atau gaya penceritaan penulisnya. Sebut saya naif, atau kolot, tapi saya sepenuhnya tidak menyukai kebanyakan adegan dalam novel ini. Tak perlu bicara moral ketika membaca novel ini (dan kebanyakan novel jenis beginian saat sekarang). Hampir semuanya sudah terpengaruh budaya barat. Free sex. Hubungan intim pra nikah. Partying. Alcohol. Hamil di luar nikah, dan lain sebagainya. Sekian lama hidup di negara yang (katanya) menjunjung adat ketimuran, hal-hal tersebut tetap saja membuat saya geleng-geleng kepala dan mencoba untuk mengingkarinya. Saya takut jika yang demikian lambat laun dianggap sebagai hal yang lumrah dan semua memakluminya, karena saya masih menilai (secara logika) bahwa hal-hal itu salah. Tak perlu pendidikan tinggi untuk menilainya sebagai suatu kesalahan. Maka, saya pun merasa punya hak ketika mempertanyakan apakah perlu dibentuk sebuah Lembaga Sensor Buku (LSB), semacam Lembaga Sensor Film (LSF), yang bertugas menyunting adegan-adegan tak layak baca? Saya selalu bertanya, sebegitu pentingkah menarasikan bagaimana dua orang berciuman sampai lebih dari satu halaman? Seberapa perlunya menggambarkan adegan ranjang? Seberapa signifikankah adegan-adegan intim yang semustinya dilakukan oleh pasutri itu diumbar dalam sebuah novel? Apakah dengan membuatnya "tersamar" akan mengacaukan keseluruhan jalan ceritanya? Ataukah ini usaha penulis (penerbit dan editornya) untuk menarik minat calon pembeli-bacanya? Memang tidak bisa dipungkiri bahwa bumbu seks selalu berhasil mengundang kontroversi yang harus diakui dapat menjadi media promosi (iklan) yang murah. Tapi kontroversi selalu-lah akan menjadi kontroversi, yang bagi saya berkonotasi negatif. Nge-boom dalam waktu singkat dan tenggelam dalam waktu yang singkat pula. Jika sudah demikian, saya hanya bisa berharap bahwa para pembaca cukup "pintar" bagaimana menikmati sebuah bacaan. Pembaca yang secara tegas dapat membedakan mana fiksi dan mana non-fiksi. Pembaca yang tak kebingungan menilai sesuatu dengan hati nurani dan segala norma yang dipercayainya. Meskipun begitu, saya tidak dalam posisi menggurui atau berlagak sok suci. Semuanya kembali kepada pribadi masing-masing. Saya percaya, secara naluriah setiap orang sudah dibekali filter yang cukup memadai untuk menyaring beragam informasi yang didapatnya detik demi detik dalam kehidupannya. Yang terpenting bahwa segala keputusan ada konsekuensinya. Saya hanya khawatir jika ada pembaca yang tak bijak menyikapi novel seperti ini, sehingga bisa memicu "keinginan berbahaya yang terpendam" untuk meniru apa yang tertulis dalam novel. Semoga saja tidak! Meskipun menggoyang imajinasi saya sedemikian rupa, ada juga beberapa scene yang agak aneh bagi saya. Salah satunya adalah adegan ketika Adriana mempraktikkan ilmu psikologinya dengan memberikan konseling pada Baron dan Olivia yang sedang bertengkar. Hahahaha... saya tidak bisa menangkap apa esensi dari adegan itu. Meskipun scene tersebut merupakan salah satu titik balik keseluruhan cerita, saya sedikit kecewa dan lebih mengharapkan adegan lain, walaupun saya juga tidak bisa memberikan ide adegan seperti apa yang saya inginkan. Yang jelas, bukan yang seperti itu.
Bahasa Indonesia
Bentuk Karya Novel
Target Pembaca Umum

 
No Barcode No. Panggil Akses Lokasi Ketersediaan
00000000003 899.221 3 ALI m Dapat dipinjam Perpustakaan Perguruan Muhammadiyah Cipondoh - SMA Muhammadiyah 2 Kota Tangerang Tersedia
Tag Ind1 Ind2 Isi
001 INLIS000000000000003
005 20210505084821
007 ta
008 210505################g##########f#ind##
020 # # $a 978-979-22-5241-5
035 # # $a 0010-0421000003
082 # # $a 899.221 3
084 # # $a 899.221 3 ALI m
100 0 # $a Alia Zalea
245 1 # $a Miss Pesimis /$c alia zalea
250 # # $a cet. 1
260 # # $a Jakarta :$b Gramedia,$c 2010
300 # # $a 272 hlm ; $c 20 cm
500 # # $a Sejak kali pertama melihat Ervin yang bak Dewa Yunani itu, Adriana sudah jatuh hati pada laki-laki yang ternyata adalah calon teman kantornya sendiri. Namun, jejak cinta pertamanya di SMP dulu pada Baron mengaburkan debaran-debaran aneh setiap berdekatan dengan Ervin. Jauh sebelum bertemu Ervin Adriana sempat menjalin hubungan dengan bule di Amerika, dimana Adriana terpaksa menolak lamarannya karena cinta terpendamnya pada Baron yang masih disemainya. Ketika muncul keberanian Adriana mengutarakan isi hatinya pada Baron, ia justru shock mendengar kabar bahwa sang pujaan hatinya itu akan segera bertunangan dengan Olivia, teman SMP mereka. Demi menata hatinya, Adriana mencurahkan waktunya ke pekerjaan dan mempererat persahabatan dengan Ervin. Tetapi, dunia seolah sedang mempermainkannya, karena meskipun telah mencoba memblokir segala kemungkinan ia bertemu dengan Baron, justru laki-laki itu yang menemukannya. Puncaknya, ketika Adriana tak lagi bisa menghindar dari Baron di pesta reuni SMP. Dan, sadarlah Adriana bahwa sebenarnya dari sejak dulu Baron juga mencintainya. Namun, di saat yang sama mengapa ia menjadi ragu? Mengapa ia menjadi tak lagi percaya bahwa Baron-lah yang dia inginkan menjadi kekasih hatinya? Tak mau menyakiti Olivia, Adriana kemudian menolak lamaran Baron. Meski begitu, perih yang menyiksa batinnya ternyata tak dapat disingkirkannya semudah yang ia bayangkan. Maka ketika Ervin mengajaknya pergi berlibur, Adriana dengan berat hati menyetujuinya. Di tempat liburan, Adriana bertekad melupakan Baron dengan melakukan hal-hal gila yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Dan siapa yang menyangka kalau hal-hal gila itu ia lakukan bersama Ervin? Lalu, ketika Adriana menyadari bahwa ia hamil, apakah ia akan menuntut Ervin untuk bertanggung jawab, padahal Adriana merasa Ervin tak pernah menganggapnya sebagai seseorang yang spesial? Hanya sebagai serep ketika tak ada lagi perempuan yang tersisa untuk diajak kencan olehnya? Menyimak lembar-lembar pertama novel ini, saya sangat lega, bahwa akhirnya terbit juga sebuah novel dalam line metropop-nya Gramedia dengan pakem yang sudah saya suka dari awal kemunculan line ini. Belakangan saya seperti kehilangan selera membaca novel-novel metropop yang sepertinya tak lagi memiliki "something" yang seingat saya membuat saya tergila-gila. Beberapa diantaranya bahkan menerbitkan rasa sesal karena membelinya. Masih dengan taburan tema klise dan adegan daur-ulang, Miss Pesimis tampil memukau dengan beberapa dialog cerdasnya yang mengingatkan saya pada film drama Hollywood favorit, When Harry Met Sally, Before Sunset, It's Complicated, dan sebagainya. Dan, ya, novel ini memang memiliki alur dan adegan seperti kebanyakan film-film tersebut. Bebas, ceria, kadang ekstrim, dan selebihnya menyenangkan. Bagi kebanyakan perempuan yang menyukai film drama Hollywood mungkin akan jatuh suka juga dengan novel ini. Ceritanya mengalir lancar dan menyegarkan. Namun demikian, saya menganjurkan untuk juga menganggap novel ini hanya sekadar hiburan semata. Begitu selesai, ya sudah, cukup mengomentari jalan cerita atau tingkah polah para tokohnya atau gaya penceritaan penulisnya. Sebut saya naif, atau kolot, tapi saya sepenuhnya tidak menyukai kebanyakan adegan dalam novel ini. Tak perlu bicara moral ketika membaca novel ini (dan kebanyakan novel jenis beginian saat sekarang). Hampir semuanya sudah terpengaruh budaya barat. Free sex. Hubungan intim pra nikah. Partying. Alcohol. Hamil di luar nikah, dan lain sebagainya. Sekian lama hidup di negara yang (katanya) menjunjung adat ketimuran, hal-hal tersebut tetap saja membuat saya geleng-geleng kepala dan mencoba untuk mengingkarinya. Saya takut jika yang demikian lambat laun dianggap sebagai hal yang lumrah dan semua memakluminya, karena saya masih menilai (secara logika) bahwa hal-hal itu salah. Tak perlu pendidikan tinggi untuk menilainya sebagai suatu kesalahan. Maka, saya pun merasa punya hak ketika mempertanyakan apakah perlu dibentuk sebuah Lembaga Sensor Buku (LSB), semacam Lembaga Sensor Film (LSF), yang bertugas menyunting adegan-adegan tak layak baca? Saya selalu bertanya, sebegitu pentingkah menarasikan bagaimana dua orang berciuman sampai lebih dari satu halaman? Seberapa perlunya menggambarkan adegan ranjang? Seberapa signifikankah adegan-adegan intim yang semustinya dilakukan oleh pasutri itu diumbar dalam sebuah novel? Apakah dengan membuatnya "tersamar" akan mengacaukan keseluruhan jalan ceritanya? Ataukah ini usaha penulis (penerbit dan editornya) untuk menarik minat calon pembeli-bacanya? Memang tidak bisa dipungkiri bahwa bumbu seks selalu berhasil mengundang kontroversi yang harus diakui dapat menjadi media promosi (iklan) yang murah. Tapi kontroversi selalu-lah akan menjadi kontroversi, yang bagi saya berkonotasi negatif. Nge-boom dalam waktu singkat dan tenggelam dalam waktu yang singkat pula. Jika sudah demikian, saya hanya bisa berharap bahwa para pembaca cukup "pintar" bagaimana menikmati sebuah bacaan. Pembaca yang secara tegas dapat membedakan mana fiksi dan mana non-fiksi. Pembaca yang tak kebingungan menilai sesuatu dengan hati nurani dan segala norma yang dipercayainya. Meskipun begitu, saya tidak dalam posisi menggurui atau berlagak sok suci. Semuanya kembali kepada pribadi masing-masing. Saya percaya, secara naluriah setiap orang sudah dibekali filter yang cukup memadai untuk menyaring beragam informasi yang didapatnya detik demi detik dalam kehidupannya. Yang terpenting bahwa segala keputusan ada konsekuensinya. Saya hanya khawatir jika ada pembaca yang tak bijak menyikapi novel seperti ini, sehingga bisa memicu "keinginan berbahaya yang terpendam" untuk meniru apa yang tertulis dalam novel. Semoga saja tidak! Meskipun menggoyang imajinasi saya sedemikian rupa, ada juga beberapa scene yang agak aneh bagi saya. Salah satunya adalah adegan ketika Adriana mempraktikkan ilmu psikologinya dengan memberikan konseling pada Baron dan Olivia yang sedang bertengkar. Hahahaha... saya tidak bisa menangkap apa esensi dari adegan itu. Meskipun scene tersebut merupakan salah satu titik balik keseluruhan cerita, saya sedikit kecewa dan lebih mengharapkan adegan lain, walaupun saya juga tidak bisa memberikan ide adegan seperti apa yang saya inginkan. Yang jelas, bukan yang seperti itu.
650 # 4 $a Fiksi Indonesia
990 # # $a 00003/PSMUH/H/20
Content Unduh katalog