Cite This        Tampung        Export Record
Judul Allah Tidak Cerewet Seperti Kita : Islam itu mudah jangan dipersulit / Emha Ainun Nadjib
Pengarang Emha Ainun Nadjib
EDISI Cet. 4
Penerbitan Bandung : Noura Books (PT Mizan Publika), 2019
Deskripsi Fisik 240 hlm :Terdapat Gambar ;21 cm
ISBN 978-602-385-812-5
Subjek Hubungan antara Allah dengan Makhluk
Catatan Mungkin tanpa kita sadari kita terlalu sempit dalam menyikapi sebuah masalah. Masalah yang sebenarnya sederhana akibat sesat pikir menjadi besar. Tidak jarang kasus yang disebabkan karena berbeda pendapat menjadikan teman sedari kecil menjadi musuh, membuat kawan menjadi lawan, saling unfollow media sosial, tidak tegur sapa, ujung-ujungnya saling memberi ujaran kebencian, dan parahnya menyebarkan berita hoax. Kalau anak milineal mengatakan bahwa itu tandanya “Mainnya kurang jauh” atau “Kurang piknik”. Dengan kata lain, kurang pengetahuan dan pengalaman. Membaca tulisan Emha Ainun Nadjib atau lebih akrab disapa Cak Nun dalam bukunya yang berjudul Allah Tidak Cerewet Seperti Kita merupakan salah satu cara untuk mengatasi hal itu. Buku ini mampu membantu kita dalam membuka cakrawala, membuat pikiran menjadi lebih jernih dan logis, Insyaa Allah. Tidak hanya itu, hati pun turut tersentil, tangan tidak mau ketinggalan untuk mengelus dada, dan bibir tiada henti berucap istighfar. Hadirnya buku ini di tengah-tengah kita tentu ada alasan yang melatarbelakanginya. Alasan pertama, untuk mengingatkan bahwa Allah tidak mempersulit hamba-Nya. Allah Maha Pengasih, Maha Pemurah, dan rahmat-Nya mendahului amarah-Nya. Manusialah yang membuat citra Allah menjadi “kejam” seolah siap menghukum hamba-Nya sekecil apapun kesalahannya. Kedua, buku ini juga mengingatkan kita untuk jangan suka mengurusi ibadah orang lain. Pada masa kini manusia tidak segan melabeli manusia lain dengan sebutan ‘kafir’, ‘syirik’, dan ‘bid’ah’. Padahal manusia tidak ada hak menghakimi seperti itu. Hanya Allah yang berhak menilai kualitas ibadah hamba-Nya. Tanpa mereka sadari, itu sama dengan mengambil peran Tuhan. “Syirik itu tidak tergantung bendanya. Anda bisa menjadi syirik dengan penampilan yang sangat Islam. Misalnya, umrah dengan money laundring, uang curian yang “disucikan” di Makkah. Meraka pikir dengan dipakai umrah, uang curian bisa jadi suci. Kalau begitu, bisa diketawain malaikat, “Emang gue kagak tau entu duit curian?” Si pencuri yang umrah itu masih terlindung oleh wa amhilhum ruwayda, Aku berikan waktu sejenak. Sejenaknya berapa, itu yang jadi masalah kita dengan Allah.” (hlm 21) “Seseorang tidak punya kekuasaan atas pengetahuan untuk mengatakan orang lain musyrik. Musyrik itu letaknya dalam pikiran orang dan tidak ada di antara kita yang bisa memastikan apa yang dipikiran orang lain. Apa niatnya dalam berperilaku? Siapa yang dituhankan? Semua itu hanya ada dalam pikiran dan hatinya.” (hlm 68) Umumnya buku-buku tentang Agama Islam membicarakan tentang ibadah mahdhah. Cara menunaikan salat, haji, sedekah, dan sebagainya. Buku tulisan Cak Nun ini berbeda dari ulama atau ahli Agama Islam di Indonesia kebanyakan. Buku ini dengan beraninya membeberkan isu-isu terhangat dan membuat senewen warga Negara +62 ini. Kasus pemilihan Gubernur Jakarta, misalnya. Masih ingat dengan jelas dalam rekaman kita bagaimana rakyat terombang-ambing tidak tentu arah, saling menghujat satu sama lain, dan bahkan hampir memecah belah NKRI. Tidak hanya soal isu agama yang diangkat tetapi juga isu etnis yang cukup sensitif dibahas di Negeri yang mengaku multikultural ini. Segala cara dilakukan untuk saling menjatuhkan, miris. Dalam hal itu, Cak Nun mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam berpersepsi, kita harus melihat kasus Ahok ini dari banyak sisi. “Anda harus waspada. Media sosial itu isinya ketidakwaspadaan global. Semuanya ditelan, dikeluarkan lagi, dicopas, copas, copas, kan, gitu. Soal kalimat “Kalau Anda anti-Ahok berarti anti-Cina” itu, artinya, satu, harus menerima Ahok supaya tidak dibilang anti-Cina. Dua, Ahok sama dengan Cina. Kalimat itu adalah penegasan bahwa Ahok adalah Cina. Kalimat itu bahaya banget. Maka, Anda perlu kembali ke sumber primer.” (hlm 37) “Semakin banyak kita berkalimat-kalimat, kalau tidak waspada akan terjebak. Ahok itu bukan sesuatu yang sifatnya primer atau fokus. Ahok itu hanya peluru. Anda harus tahu senapannya apa, siapa yang memegang senapan itu, dan siapa yang membayar pemegang senapan itu. Isu itu cuma output kesekian dari sumber yang berada beberapa langkah di belakang isu itu. Kalau tidak waspada, Anda akan bingung, takut Ahok jadi presiden atau jadi gubernur.” (hlm 38) Buku ini mampu menjawab persoalan Bangsa Indonesia masa kini. Persoalan menyangkut isu agama di kalangan umat Islam di Indonesia tak luput dari kacamata Cak Nun. “Orang Islam sekarang ini banyak yang aneh. Yang diurus itu perkara yang bukan-bukan saja. Sekarang ini bukan zamannya mengurus agama orang lain. Agama itu “urusan dapur”, bukan urusan “depan rumah”. Agama itu hanya digunakan untuk mengompori matangnya akhlak Anda agar kelakukan Anda baik, bagus.” (hlm 156) “Sebenarnya yang bagus itu tidak ketahuan agamanya apa. Sebab, yang dicek itu bukan agamanya, tapi kelakukannya.” (hlm 157) Tidak hanya perihal agama, pandangan soal budaya hingga politik yang saling berbenturan pun dibahas dengan apik dan menarik. Contoh persoalan dalam merawat budaya. Tentu tidak asing bagi kita pidato Soekarno yang mengatakan, “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.” Banyak umat yang pro dan kontra mengenai kata-kata Bung Karno ini. Hal itu sebenarnya tergantung pada sudut pandang yang kita gunakan. Cak Nun mempunyai pandangan mengenai bagaimana seharusnya menjadi manusia yang beragama dan berbudaya. “Kalau orang Jawa bilang Islam kuwi; Jawa digawa, Arab digarap, Barat diruwat. Maksudnya, budaya Jawa masih dibawa dalam Islam, Arab dan Barat juga masih dipakai. Jadi, dalam berislam itu jangan lupa dengan darah Jawa Anda. Jangan ditinggal. Jangan karena kamu jadi orang Islam lantas hilang Jawa-mu. Lalu, pakai serban Abu Jahal. Ya, enggak apa-apa sih pakai serban kalau cuma buat iseng-iseng karena kedinginan.” (hlm 160) Selain dalam budaya, Cak Nun juga membagikan pendapatnya mengenai isu politik di Indonesia. Warga Negara saling menyalahkan dan merasa paling benar. “Kita tidak bisa meneruskan negara, di mana yang satu merasa dirinya malaikat dan menuduh lainnya setan. Kita harus cari ilmu dan mau belajar. Indonesia ini tidak sakit apa-apa. Islam tidak sakit, yang sakit mungkin orang Islam. Kristen tidak sakit, yang sakit orang Kristen. Indonesia tidak sakit, yang sakit bangsa Indonesia. Puncak dari rasa sakit, dan puncak dari keadaan sakit manusia adalah ketika dia tidak tahu dia sakit. Dia marah kalau dikasih tahu bahwa dia sakit. Kalau begitu bagaimana mungkin dia akan sembuh?” “Orang sakit itu kan mau tidak mau harus taat kepada keadaannya. Diagnosisnya seperti apa? Maka, terapinya seperti itu. Setiap orang berbeda pendapat yang berbeda itu dipertahankan oleh masing-masing sehingga kita berbenturan dan akan terlibat pada kalah-menang. Menurut saya, yuk kita cari sakit kita bareng-bareng. Kita tidak usah takut miskin, takut kalah, wong kita enggak kalah-menang, kok. Kita ini sama-sama berpikir NKRI.” (hlm 105) Nasihat Cak Nun itu seperti oase di tengah padang pasir. Membuat adhem. Dalam buku ini, Cak Nun juga menerangkan dan membangkitkan rasa nasionalisme kita terhadap NKRI. “Jangan, Anda jangan menyanggah seluruh hal di Indonesia. Tetaplah menjadi seorang nasionalis. Nasionalisme Anda adalah apa yang mampu Anda jangkau. Kalau bisa dijangkau cuma Anda, anak-istri Anda, ya sudah, itu nasionalisme Anda. Yang penting Anda menjadi manusia sebaik-baiknya dalam skala kecil nasionalisme hidup Anda itu. Cukup begitu.” (hlm 116) Adapun kelebihan dari buku ini. Secara fisik, lay out buku ini sangat memanjakan mata. Buku ini dicetak dengan menggunakan jenis dan ukuran font yang pas. Kata yang penting dicetak tebal dan ditandai dengan warna hijau sehingga membuat mata pembaca tetap segar dan tidak mengantuk ketika membacanya. Selain itu, juga memudahkan pembaca dalam menangkap pesan penting yang harus diingat. Bahasa yang digunakan juga tidak terlalu berat untuk dicerna. Sungguh renyah, kita seolah-olah diajak berdiskusi dan brainstorming, serta merenungi bersama-sama. Kelebihan lainnya, dalam buku ini amat jarang ditemukan kesalahan dalam penulisan. Isi buku ini padat dan jelas. Bahkan cenderung komplit. Mulai dari masalah ibadah, budaya, hingga politik di bahas. Buku ini berisi 15 bab yang diambil dari tema-tema ceramah Cak Nun yang terkait dengan hakikat ajaran Islam yang luwes dan tidak menyulitkan. Jauh dari kesan yang ditimbulkan oleh sebagian umat Islam masa kini, yang justru memberikan stigma pada Islam sebagai agama yang kaku. Sudut pandang yang digunakan Cak Nun dalam menyikapi sebuah kehidupan cukup anti-mainstream. Pemaparan dalam buku ini menggunakan sudut pandang yang bisa saya katakan berbeda dari kacamata biasa. Tak pelak setiap kalimat Cak Nun mampu menyentak nurani. “Sebenarnya banyak sekali makna hidup yang bisa kita petik. Namun, orang sekarang memillih menyempitkan diri dengan menganggap bahwa yang bermakna itu hanya materi. Ketika materi sudah datang, malah gagal memaknainya, akhirnya tidak bahagia. Duit banyak tidak bisa memaknainya, akhirnya bingung: Apa bedanya duit banyak dengan duit sedikit? Toh, sama-sama harus dikeluarkan atau dibelanjakan. Punya rumah besar, gagap memaknai, akhirnya bingung juga: Apa bedanya rumah besar dengan rumah kecil? Kan, sama-sama tempat tinggal sementara.” (hlm 61) “Jangan sampai menghina Gusti Allah dengan mencuri hak orang lain. Ketika Anda mencuri, memakan hak orang lain, itu sama artinya Anda meremehkan Gusti Allah yang sudah memberi rezeki dengan cara-Nya. Allah sudah memberi rezeki, sudah memberikan hak, salah satunya dalam bentuk materi, tapi kenapa Anda masih mencari-cari lagi, sampai-sampai harus mencuri?” (hlm 62) “Sementara soal rezeki, itu tergantung kerativitas. Kita harus mencari: Apa sih pernyataan Allah soal kreativitas dan soal lapar? Soal lapar, coba baca Surah Al-Quraisy. Di dalamnya ada makna kalau Anda takut kelaparan, itu sama saja Anda tidak menghargai Allah. Surah itu menjelaskan, asal Anda berbakti pada tuan rumahnya Ka’bah—Allah—Anda akan dijamin.” (hlm 206) Belajar dari Cak Nun dalam memaknai kehidupan tidaklah mudah. Oleh karena sudut pandang Beliau yang nyleneh itu, jangan lantas membuat ubun-ubun kita langsung mendidih. Namun, yang kita butuhkan adalah bersikap legawa, berlapang dada, dan ikhlas membuka pikiran. Ikhlas menerima kalau-kalau apa yang kita pikir benar selama ini ternyata salah. Menyadari kalau kita selama ini terlalu kaku dan terkesan ngotot dalam menghadapi permasalahan. “Kadang, kita harus bisa ikhlas melakukan sesuatu yang tidak kita suka. Justru di situlah letak kemuliaan kita. Karena bisa jadi apa yang kita tidak suka itu lebih baik untuk kita, tapi kita tidak tahu. Makanya, jalani saja hidup ini.” (hlm 24) “Kita diperintahkan untuk belajar. Belajar membaca alam semesta dan belajar membaca persoalan-persoalan dalam hidup ini. Kalaupun tidak mampu membacanya secara menyeluruh, kita tidak berdosa. Yang penting, kita sudah berusaha membaca, berusaha menjalankan perintah Tuhan kepada kita, yang disampaikan melalu perintah pertama yang turun langsung pada Muhammad Saw. Juga, berusaha berijtihad dengan cara yang kita mampu.” (hlm 31-32) “Saya ini punya kebenaran, yang menurut saya Indonesia harus begini, begitu, sejak persiapan kemerdekaan begini, begini, begini. Tapi, saya tidak pernah ngomong karena tidak pernah membayangkan Indonesia akan berjalan seperti yang saya yakini dalam kebenaran saya. Saya menyesuaikan diri dengan siapa pun untuk mencari kebenaran bersama. Ibarat tawar-menawar, kalau penjual maunya harga seratus ribu, sementara pembeli maunya lima puluh ribu, kita harus cari tujuh puluh lima ribu. Inilah yang belum pernah tercapai hingga sekarang. Bagi kelompok A seratus itu yang benar dan masuk neraka kalau tidak. Sementara bagi kelompok lain, lima puluh itu masuk surga, yang seratus masuk neraka. Akhirnya, Tuhan marah, kita tidak ditolong kalau kita bersitegang terus seperti itu.” (hlm 194-195) Agar mudah memahami maksud yang diungkapkan oleh Cak Nun—jika tema pembahasan cukup rumit—Cak Nun melengkapinya dengan memberikan contoh dan analogi yang mudah diterima oleh akal orang awam. Hal itu karena perumpamaan yang beliau ambil sangat dekat dengan kehidupan yang terjadi di masyarakat. Gaya khas Cak Nun dengan kedalaman ilmunya itulah yang membuat pembaca nyaman membaca dan menyerap apa yang disampaikan Beliau dalam buku ini. Seperti kondisi Indonesia kini yang diibaratkan dengan sarung. “Jangan sampai kita kehilangan kontruksi. Jangan seperti sarung. Ini negara, jangan sampai jadi “negara sarung”. Tahu bedanya sarung, celana, baju? Kalau celana, baju, jelas depan belakangnya. Jelas letak kancing atau relestingnya. Kalau kebalik, aneh. Tapi, negara kita sekarang ini seperti sarung. Sarung itu dijadikan apa saja bisa. Dijadikan celana, baju, sajadah, selimut, serban bisa, atau dibuat alas tidur juga enak.” (hlm 78) Pemahaman tentang perbedaan syariat, tarekat, hakikat dan makrifat dengan mudahnya Cak Nun menjelaskannya. Cak Nun memberi contoh ketika kita naik kapal hendak ke tengah laut, lalu menyelam untuk mencari Mutiara. “Syariatnya itu adalah ketika Anda naik kapal. Tarekat adalah ketika Anda mendayung kapal. Hakikat adalah ketika Anda terjun ke dalam lautan menemukan satu mutiara. Dan, makrifat adalah ketika Anda kembali ke kapal dan memegang Mutiara, kemudian berpikir, “Akan aku apakan Mutiara ini?” (hlm 144-145)
Bahasa Indonesia
Bentuk Karya Bukan fiksi atau tidak didefinisikan
Target Pembaca Umum

 
No Barcode No. Panggil Akses Lokasi Ketersediaan
00000001166 297.313 EMH a Dapat dipinjam Perpustakaan Perguruan Muhammadiyah Cipondoh - Perpustakaan Perguruan Muhammadiyah Cipondoh Tersedia
00000001167 297.313 EMH a Dapat dipinjam Perpustakaan Perguruan Muhammadiyah Cipondoh - Perpustakaan Perguruan Muhammadiyah Cipondoh Tersedia
00000001168 297.313 EMH a Dapat dipinjam Perpustakaan Perguruan Muhammadiyah Cipondoh - Perpustakaan Perguruan Muhammadiyah Cipondoh Tersedia
Tag Ind1 Ind2 Isi
001 INLIS000000000000495
005 20220311094011
007 ta
008 220311################g##########0#ind##
020 # # $a 978-602-385-812-5
035 # # $a 0010-0322000016
082 # # $a 297.313
084 # # $a 297.313 EMH a
100 0 # $a Emha Ainun Nadjib
245 1 # $a Allah Tidak Cerewet Seperti Kita : $b Islam itu mudah jangan dipersulit /$c Emha Ainun Nadjib
250 # # $a Cet. 4
260 # # $a Bandung :$b Noura Books (PT Mizan Publika),$c 2019
300 # # $a 240 hlm : $b Terdapat Gambar ; $c 21 cm
500 # # $a Mungkin tanpa kita sadari kita terlalu sempit dalam menyikapi sebuah masalah. Masalah yang sebenarnya sederhana akibat sesat pikir menjadi besar. Tidak jarang kasus yang disebabkan karena berbeda pendapat menjadikan teman sedari kecil menjadi musuh, membuat kawan menjadi lawan, saling unfollow media sosial, tidak tegur sapa, ujung-ujungnya saling memberi ujaran kebencian, dan parahnya menyebarkan berita hoax. Kalau anak milineal mengatakan bahwa itu tandanya “Mainnya kurang jauh” atau “Kurang piknik”. Dengan kata lain, kurang pengetahuan dan pengalaman. Membaca tulisan Emha Ainun Nadjib atau lebih akrab disapa Cak Nun dalam bukunya yang berjudul Allah Tidak Cerewet Seperti Kita merupakan salah satu cara untuk mengatasi hal itu. Buku ini mampu membantu kita dalam membuka cakrawala, membuat pikiran menjadi lebih jernih dan logis, Insyaa Allah. Tidak hanya itu, hati pun turut tersentil, tangan tidak mau ketinggalan untuk mengelus dada, dan bibir tiada henti berucap istighfar. Hadirnya buku ini di tengah-tengah kita tentu ada alasan yang melatarbelakanginya. Alasan pertama, untuk mengingatkan bahwa Allah tidak mempersulit hamba-Nya. Allah Maha Pengasih, Maha Pemurah, dan rahmat-Nya mendahului amarah-Nya. Manusialah yang membuat citra Allah menjadi “kejam” seolah siap menghukum hamba-Nya sekecil apapun kesalahannya. Kedua, buku ini juga mengingatkan kita untuk jangan suka mengurusi ibadah orang lain. Pada masa kini manusia tidak segan melabeli manusia lain dengan sebutan ‘kafir’, ‘syirik’, dan ‘bid’ah’. Padahal manusia tidak ada hak menghakimi seperti itu. Hanya Allah yang berhak menilai kualitas ibadah hamba-Nya. Tanpa mereka sadari, itu sama dengan mengambil peran Tuhan. “Syirik itu tidak tergantung bendanya. Anda bisa menjadi syirik dengan penampilan yang sangat Islam. Misalnya, umrah dengan money laundring, uang curian yang “disucikan” di Makkah. Meraka pikir dengan dipakai umrah, uang curian bisa jadi suci. Kalau begitu, bisa diketawain malaikat, “Emang gue kagak tau entu duit curian?” Si pencuri yang umrah itu masih terlindung oleh wa amhilhum ruwayda, Aku berikan waktu sejenak. Sejenaknya berapa, itu yang jadi masalah kita dengan Allah.” (hlm 21) “Seseorang tidak punya kekuasaan atas pengetahuan untuk mengatakan orang lain musyrik. Musyrik itu letaknya dalam pikiran orang dan tidak ada di antara kita yang bisa memastikan apa yang dipikiran orang lain. Apa niatnya dalam berperilaku? Siapa yang dituhankan? Semua itu hanya ada dalam pikiran dan hatinya.” (hlm 68) Umumnya buku-buku tentang Agama Islam membicarakan tentang ibadah mahdhah. Cara menunaikan salat, haji, sedekah, dan sebagainya. Buku tulisan Cak Nun ini berbeda dari ulama atau ahli Agama Islam di Indonesia kebanyakan. Buku ini dengan beraninya membeberkan isu-isu terhangat dan membuat senewen warga Negara +62 ini. Kasus pemilihan Gubernur Jakarta, misalnya. Masih ingat dengan jelas dalam rekaman kita bagaimana rakyat terombang-ambing tidak tentu arah, saling menghujat satu sama lain, dan bahkan hampir memecah belah NKRI. Tidak hanya soal isu agama yang diangkat tetapi juga isu etnis yang cukup sensitif dibahas di Negeri yang mengaku multikultural ini. Segala cara dilakukan untuk saling menjatuhkan, miris. Dalam hal itu, Cak Nun mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam berpersepsi, kita harus melihat kasus Ahok ini dari banyak sisi. “Anda harus waspada. Media sosial itu isinya ketidakwaspadaan global. Semuanya ditelan, dikeluarkan lagi, dicopas, copas, copas, kan, gitu. Soal kalimat “Kalau Anda anti-Ahok berarti anti-Cina” itu, artinya, satu, harus menerima Ahok supaya tidak dibilang anti-Cina. Dua, Ahok sama dengan Cina. Kalimat itu adalah penegasan bahwa Ahok adalah Cina. Kalimat itu bahaya banget. Maka, Anda perlu kembali ke sumber primer.” (hlm 37) “Semakin banyak kita berkalimat-kalimat, kalau tidak waspada akan terjebak. Ahok itu bukan sesuatu yang sifatnya primer atau fokus. Ahok itu hanya peluru. Anda harus tahu senapannya apa, siapa yang memegang senapan itu, dan siapa yang membayar pemegang senapan itu. Isu itu cuma output kesekian dari sumber yang berada beberapa langkah di belakang isu itu. Kalau tidak waspada, Anda akan bingung, takut Ahok jadi presiden atau jadi gubernur.” (hlm 38) Buku ini mampu menjawab persoalan Bangsa Indonesia masa kini. Persoalan menyangkut isu agama di kalangan umat Islam di Indonesia tak luput dari kacamata Cak Nun. “Orang Islam sekarang ini banyak yang aneh. Yang diurus itu perkara yang bukan-bukan saja. Sekarang ini bukan zamannya mengurus agama orang lain. Agama itu “urusan dapur”, bukan urusan “depan rumah”. Agama itu hanya digunakan untuk mengompori matangnya akhlak Anda agar kelakukan Anda baik, bagus.” (hlm 156) “Sebenarnya yang bagus itu tidak ketahuan agamanya apa. Sebab, yang dicek itu bukan agamanya, tapi kelakukannya.” (hlm 157) Tidak hanya perihal agama, pandangan soal budaya hingga politik yang saling berbenturan pun dibahas dengan apik dan menarik. Contoh persoalan dalam merawat budaya. Tentu tidak asing bagi kita pidato Soekarno yang mengatakan, “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.” Banyak umat yang pro dan kontra mengenai kata-kata Bung Karno ini. Hal itu sebenarnya tergantung pada sudut pandang yang kita gunakan. Cak Nun mempunyai pandangan mengenai bagaimana seharusnya menjadi manusia yang beragama dan berbudaya. “Kalau orang Jawa bilang Islam kuwi; Jawa digawa, Arab digarap, Barat diruwat. Maksudnya, budaya Jawa masih dibawa dalam Islam, Arab dan Barat juga masih dipakai. Jadi, dalam berislam itu jangan lupa dengan darah Jawa Anda. Jangan ditinggal. Jangan karena kamu jadi orang Islam lantas hilang Jawa-mu. Lalu, pakai serban Abu Jahal. Ya, enggak apa-apa sih pakai serban kalau cuma buat iseng-iseng karena kedinginan.” (hlm 160) Selain dalam budaya, Cak Nun juga membagikan pendapatnya mengenai isu politik di Indonesia. Warga Negara saling menyalahkan dan merasa paling benar. “Kita tidak bisa meneruskan negara, di mana yang satu merasa dirinya malaikat dan menuduh lainnya setan. Kita harus cari ilmu dan mau belajar. Indonesia ini tidak sakit apa-apa. Islam tidak sakit, yang sakit mungkin orang Islam. Kristen tidak sakit, yang sakit orang Kristen. Indonesia tidak sakit, yang sakit bangsa Indonesia. Puncak dari rasa sakit, dan puncak dari keadaan sakit manusia adalah ketika dia tidak tahu dia sakit. Dia marah kalau dikasih tahu bahwa dia sakit. Kalau begitu bagaimana mungkin dia akan sembuh?” “Orang sakit itu kan mau tidak mau harus taat kepada keadaannya. Diagnosisnya seperti apa? Maka, terapinya seperti itu. Setiap orang berbeda pendapat yang berbeda itu dipertahankan oleh masing-masing sehingga kita berbenturan dan akan terlibat pada kalah-menang. Menurut saya, yuk kita cari sakit kita bareng-bareng. Kita tidak usah takut miskin, takut kalah, wong kita enggak kalah-menang, kok. Kita ini sama-sama berpikir NKRI.” (hlm 105) Nasihat Cak Nun itu seperti oase di tengah padang pasir. Membuat adhem. Dalam buku ini, Cak Nun juga menerangkan dan membangkitkan rasa nasionalisme kita terhadap NKRI. “Jangan, Anda jangan menyanggah seluruh hal di Indonesia. Tetaplah menjadi seorang nasionalis. Nasionalisme Anda adalah apa yang mampu Anda jangkau. Kalau bisa dijangkau cuma Anda, anak-istri Anda, ya sudah, itu nasionalisme Anda. Yang penting Anda menjadi manusia sebaik-baiknya dalam skala kecil nasionalisme hidup Anda itu. Cukup begitu.” (hlm 116) Adapun kelebihan dari buku ini. Secara fisik, lay out buku ini sangat memanjakan mata. Buku ini dicetak dengan menggunakan jenis dan ukuran font yang pas. Kata yang penting dicetak tebal dan ditandai dengan warna hijau sehingga membuat mata pembaca tetap segar dan tidak mengantuk ketika membacanya. Selain itu, juga memudahkan pembaca dalam menangkap pesan penting yang harus diingat. Bahasa yang digunakan juga tidak terlalu berat untuk dicerna. Sungguh renyah, kita seolah-olah diajak berdiskusi dan brainstorming, serta merenungi bersama-sama. Kelebihan lainnya, dalam buku ini amat jarang ditemukan kesalahan dalam penulisan. Isi buku ini padat dan jelas. Bahkan cenderung komplit. Mulai dari masalah ibadah, budaya, hingga politik di bahas. Buku ini berisi 15 bab yang diambil dari tema-tema ceramah Cak Nun yang terkait dengan hakikat ajaran Islam yang luwes dan tidak menyulitkan. Jauh dari kesan yang ditimbulkan oleh sebagian umat Islam masa kini, yang justru memberikan stigma pada Islam sebagai agama yang kaku. Sudut pandang yang digunakan Cak Nun dalam menyikapi sebuah kehidupan cukup anti-mainstream. Pemaparan dalam buku ini menggunakan sudut pandang yang bisa saya katakan berbeda dari kacamata biasa. Tak pelak setiap kalimat Cak Nun mampu menyentak nurani. “Sebenarnya banyak sekali makna hidup yang bisa kita petik. Namun, orang sekarang memillih menyempitkan diri dengan menganggap bahwa yang bermakna itu hanya materi. Ketika materi sudah datang, malah gagal memaknainya, akhirnya tidak bahagia. Duit banyak tidak bisa memaknainya, akhirnya bingung: Apa bedanya duit banyak dengan duit sedikit? Toh, sama-sama harus dikeluarkan atau dibelanjakan. Punya rumah besar, gagap memaknai, akhirnya bingung juga: Apa bedanya rumah besar dengan rumah kecil? Kan, sama-sama tempat tinggal sementara.” (hlm 61) “Jangan sampai menghina Gusti Allah dengan mencuri hak orang lain. Ketika Anda mencuri, memakan hak orang lain, itu sama artinya Anda meremehkan Gusti Allah yang sudah memberi rezeki dengan cara-Nya. Allah sudah memberi rezeki, sudah memberikan hak, salah satunya dalam bentuk materi, tapi kenapa Anda masih mencari-cari lagi, sampai-sampai harus mencuri?” (hlm 62) “Sementara soal rezeki, itu tergantung kerativitas. Kita harus mencari: Apa sih pernyataan Allah soal kreativitas dan soal lapar? Soal lapar, coba baca Surah Al-Quraisy. Di dalamnya ada makna kalau Anda takut kelaparan, itu sama saja Anda tidak menghargai Allah. Surah itu menjelaskan, asal Anda berbakti pada tuan rumahnya Ka’bah—Allah—Anda akan dijamin.” (hlm 206) Belajar dari Cak Nun dalam memaknai kehidupan tidaklah mudah. Oleh karena sudut pandang Beliau yang nyleneh itu, jangan lantas membuat ubun-ubun kita langsung mendidih. Namun, yang kita butuhkan adalah bersikap legawa, berlapang dada, dan ikhlas membuka pikiran. Ikhlas menerima kalau-kalau apa yang kita pikir benar selama ini ternyata salah. Menyadari kalau kita selama ini terlalu kaku dan terkesan ngotot dalam menghadapi permasalahan. “Kadang, kita harus bisa ikhlas melakukan sesuatu yang tidak kita suka. Justru di situlah letak kemuliaan kita. Karena bisa jadi apa yang kita tidak suka itu lebih baik untuk kita, tapi kita tidak tahu. Makanya, jalani saja hidup ini.” (hlm 24) “Kita diperintahkan untuk belajar. Belajar membaca alam semesta dan belajar membaca persoalan-persoalan dalam hidup ini. Kalaupun tidak mampu membacanya secara menyeluruh, kita tidak berdosa. Yang penting, kita sudah berusaha membaca, berusaha menjalankan perintah Tuhan kepada kita, yang disampaikan melalu perintah pertama yang turun langsung pada Muhammad Saw. Juga, berusaha berijtihad dengan cara yang kita mampu.” (hlm 31-32) “Saya ini punya kebenaran, yang menurut saya Indonesia harus begini, begitu, sejak persiapan kemerdekaan begini, begini, begini. Tapi, saya tidak pernah ngomong karena tidak pernah membayangkan Indonesia akan berjalan seperti yang saya yakini dalam kebenaran saya. Saya menyesuaikan diri dengan siapa pun untuk mencari kebenaran bersama. Ibarat tawar-menawar, kalau penjual maunya harga seratus ribu, sementara pembeli maunya lima puluh ribu, kita harus cari tujuh puluh lima ribu. Inilah yang belum pernah tercapai hingga sekarang. Bagi kelompok A seratus itu yang benar dan masuk neraka kalau tidak. Sementara bagi kelompok lain, lima puluh itu masuk surga, yang seratus masuk neraka. Akhirnya, Tuhan marah, kita tidak ditolong kalau kita bersitegang terus seperti itu.” (hlm 194-195) Agar mudah memahami maksud yang diungkapkan oleh Cak Nun—jika tema pembahasan cukup rumit—Cak Nun melengkapinya dengan memberikan contoh dan analogi yang mudah diterima oleh akal orang awam. Hal itu karena perumpamaan yang beliau ambil sangat dekat dengan kehidupan yang terjadi di masyarakat. Gaya khas Cak Nun dengan kedalaman ilmunya itulah yang membuat pembaca nyaman membaca dan menyerap apa yang disampaikan Beliau dalam buku ini. Seperti kondisi Indonesia kini yang diibaratkan dengan sarung. “Jangan sampai kita kehilangan kontruksi. Jangan seperti sarung. Ini negara, jangan sampai jadi “negara sarung”. Tahu bedanya sarung, celana, baju? Kalau celana, baju, jelas depan belakangnya. Jelas letak kancing atau relestingnya. Kalau kebalik, aneh. Tapi, negara kita sekarang ini seperti sarung. Sarung itu dijadikan apa saja bisa. Dijadikan celana, baju, sajadah, selimut, serban bisa, atau dibuat alas tidur juga enak.” (hlm 78) Pemahaman tentang perbedaan syariat, tarekat, hakikat dan makrifat dengan mudahnya Cak Nun menjelaskannya. Cak Nun memberi contoh ketika kita naik kapal hendak ke tengah laut, lalu menyelam untuk mencari Mutiara. “Syariatnya itu adalah ketika Anda naik kapal. Tarekat adalah ketika Anda mendayung kapal. Hakikat adalah ketika Anda terjun ke dalam lautan menemukan satu mutiara. Dan, makrifat adalah ketika Anda kembali ke kapal dan memegang Mutiara, kemudian berpikir, “Akan aku apakan Mutiara ini?” (hlm 144-145)
600 # 4 $a Hubungan antara Allah dengan Makhluk
990 # # $a 01128/PSMUH/Bos/2020
990 # # $a 01129/PSMUH/Bos/2020
990 # # $a 01130/PSMUH/Bos/2020
Content Unduh katalog