
Judul | BOTCHAN / Natsume Soseki |
Pengarang | Soseki |
EDISI | Cet. 8 |
Penerbitan | Jakarta : Gramedia, 2021 |
Deskripsi Fisik | 224 hlm ;13,5 x 20 cm |
ISBN | 978-602-0652-092 |
Subjek | Fiksi Jepang |
Catatan | Novel Botchan dari Natsume Soseki ini bercerita mengenai seorang guru muda yang memberontak pada sistem pendidikan di tempatnya mengajar, sebuah sekolah di desa yang terpencil. Botchan, tokoh utama dalam novel ini, merupakan seseorang yang tinggal dan hidup di Tokyo bersama keluarga kecilnya. Sejak ia kecil, Botchan diasuh seorang pelayan tua yang bernama Kiyo. Saat anak-anak, kenalakan Botchan sangat jauh melebihi teman-temannya sehingga dia dianggap sebagai anak berandalan. Banyak orang yang tidak menyukai Botchan, mereka bahkan tidak menyayanginya seperti anak kecil yang lain. Satu-satunya orang yang memberikan perhatian kepadanya hanya Kiyo karena bagi Kiyo Botchan sudah seperti anak kandungnya sendiri. Botchan sendiri adalah nama panggilan yang memiliki arti seperti “tuan muda” namun lebih identik dengan perasaan kasih sayang. Kiyo juga satu-satunya orang yang percaya bahwa Botchan bisa menjadi orang yang sukses setelah tumbuh besar. Saat kelas 3 SMA, kedua orang tua Botchan meninggal dunia dan menjadikannya yatim piatu. Dengan bekal warisan yang tidak banyak, Botchan akhirnya menyelesaikan sekolahnya di Tokyo University of Physics. Setelah lulus, dia kemudian mendapatkan tawaran mengajar di Matsuyama, Pulau Shikoku. Matsuyama merupakan salah satu kota terpencil yang masih kental dengan budaya tradisional. Di sini, Botchan menjadi guru matematika. Sayang sekali keadaan di sekolah tersebut sangat jauh dari bayangan Botchan. Murid-muridnya bandel dan rekan gurunya cukup aneh. Beberapa rekan guru Botchan yang diceritakan dalam novel ini adalah Hotta seorang guru matematika, Koga guru olahraga, guru kepala, kepala sekolah, dan guru seni. Di Matsuyama, Botchan tinggal di kosan milik teman Hotta. Di minggu pertama Botchan mengajar, murid-muridnya sudah membuat ulah. Mereka kompak membuat tulisan-tulisan, perkataan, perbuatan, atau perbuatan untuk menjahili guru baru di kelas mereka. Lalu suatu hari, guru seni dan guru kepala mengajak Botchan memancing. Di tempat memancing, dia merasa bahwa dua rekan gurunya tersebut sedang membicarakan dirinya, kenakalan murid-muridnya, serta Pak Guru Hotta. Botchan pun tahu ada sesuatu yang tidak beres akan tetapi dia tetap diam saja. Keesokan harinya, sekolah mengadakan rapat guna membahas kejahilan yang sudah dilakukan oleh para murid. Kepala sekolah yang menjadi pemimpin rapatnya. Setelah rapat usai, Hotta mendadak meminta agar Botchan pindah tempat kos. Sejak saat itu, hubungan diantara keduanya pun jadi renggang namun Botchan masih memiliki hubungan yang baik dengan guru kepala. Botchan lalu pindah ke tempat kos teman Koga, rekan guru olahraganya. Di tempat barunya ini dia ditemani oleh seorang nenek yang tidak pernah absen memberikan ubi kepada Botchan. Awalnya Botchan bisa menerima dengan baik perlakuan nenek tersebut. Namun lama kelamaan dia menjadi kesal sendiri. Botchan mempunyai kebiasaan untuk mengunjungi pemandian air panas di kota sebelah. Suatu hari, saat hendak pergi ke kota sebelah dia bertemu guru kepala dan Koga. Mereka berangkat dengan satu kereta yang sama hanya saja berpisah di stasiun. Botchan bergegas mendatangi pemandian air panas favoritnya. Akan tetapi saat keluar, dia melihat dua bayangan manusia yang ternyata merupakan bayangan guru kepala dengan Madonna, calon istri Koga. Berita kepindahan Pak Koga ke daerah lain mendadak tersebar begitu saja dan sampai ke telinga Botchan. Dia pun mendapat kabar bahwa dirinya akan menerima tambahan gaji. Hanya saja dia menolaknya karena gaji tersebut adalah hak dari Koga. Botchan pun menanyakan kepastian tentang hal ini kepada Guru kepala, dan ternyata Koga pindah karena kemauan dirinya sendiri. Kemudian para guru mengadakan pesta untuk kepergian Koga. Di pesta ini, Botchan merasakan sesuatu yang ganjil. Dia melihat Guru kepala dan guru seni bersenang-senang dan mabuk-mabukan di pesta tersebut. Tidak ada raut sedih sama sekali di wajah keduanya. Botchan dan Hotta pun mulai merasakan ada yang sedang disembunyikan oleh Guru Kepala. Besoknya, sekolah libur karena sedang ada perayaan nasional. Para guru bersama murid berjalan ke sebuah lapangan besar. Di situ terjadi keributan antara SMA yang menjadi tempat Botchan mengajar dengan SMK lain. Sore harinya, Hotta dan Botchan mendapatkan undangan untuk melihat pesta perayaan dari adik guru Kepala. Sialnya, tawuran terjadi sekali lagi, mereka berdua coba untuk melerainya meski sia-sia saja. Sebaliknya, mereka justru jadi babak belur. Polisi pun datang dan para murid membubarkan diri. Botchan dan Hotta dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa sebagai saksi tawuran tersebut. Keesokan harinya, ada koran yang memuat berita tentang tawuran itu. Anehnya, di koran itu ditulis bahwa ada guru yang menjadi biang keladinya. Botchan dan Hotta sekali lagi harus menghadapi kesialan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Hotta pun diperintahkan untuk membuat surat pengunduran diri namun Botchan masih selamat. Hal ini justru semakin terlihat mencurigakan bagi mereka. Mereka berdua mempertanyakan kemungkinan bahwa Guru kepala lah yang melaporkan kejadian tersebut kepada koran. Botchan ikut membuat surat pengunduran diri sebagai bentuk kepedulian kepadanya kawannya, sayangnya kepala sekolah tidak menyetujui. Hotta lantas pergi dari sekolah tersebut, namun dia memutuskan untuk tinggal di kota sebelah tempat pemandian favorit Botchan berada. Dirinya ingin membalas dendam kepada Guru kepala atas kelicikan yang sudah diterimanya. Akhirnya Botchan dan Hotta memata-matai Guru kepala bersama-sama. Di suatu sore, ada dua orang geisha yang masuk ke penginapan tempat Hotta tinggal. Hotta pun memperkirakan bahwa geisha tersebut adalah sewaan guru kepala. Dan memang seperti itu kenyataannya. Pukul 10 malam, Guru kepala datang bersama guru seni ke penginapan tersebut. Di sana mereka membicarakan tentang Hotta, Botchan, dan juga Koga. Botchan dan Hotta terus menunggu sepanjang malam sampai akhirnya guru kepala dan guru seni keluar pada pukul lima pagi. Mereka mengikuti guru kepala dan guru seni sampai ke tempat yang cukup sepi. Di tempat tersebut, mereka menghajar guru kepala dengan sangat hebat. Setelah puas, mereka meninggalkan tempat sepi itu. Botchan lantas mengemasi seluruh barang-barangnya dan kembali ke Tokyo untuk menemui Kiyo. Di kota asalnya ini, Botchan mendapatkan pekerjaan yang baru sebagai teknisi kereta api. Di luar cerita kelicikan rekan gurunya tersebut, ada lagi cerita lain yang cukup menarik perhatian. Diantaranya seperti orang-orang desa yang sangat senang mencari tahu urusan orang lain. Botchan pun merasa kehidupan pribadinya direbut paksa oleh tetangga-tetanngganya itu. Ada satu kejadian di mana Botchan merasa urusan pribadinya benar-benar diganggu. Suatu saat murid-muridnya mengolok-olok Botchan karena makanan yang dimakannya satu hari sebelumnya. Hal seperti ini sangat mengganggu Botchan karena menurutnya tidak seharusnya orang-orang mencampuri urusan nya sejauh itu. Hal lain yang mengganggu Botchan adalah aturan sekolahnya yang tidak relevan sekaligus tidak efisien sama sekali. Sampai saat Botchan mengajar, ada satu tradisi turun-temurun yang masih dilakukan meskipun sebenarnya kegiatan tersebut tidak harus dilakukan. Lalu pemikiran yang kuno dan monoton membuat sekolahnya sangat sulit untuk bisa berkembang dan menjadi sekolah yang maju. Sistem yang berlaku juga belum pernah diganti alias sangat monoton. Padahal perubahan sangat diperlukan agar sekolahnya bisa menjadi sekolah yang modern. |
Bahasa | Indonesia |
Bentuk Karya | Novel |
Target Pembaca | Tidak ada kode yang sesuai |
No Barcode | No. Panggil | Akses | Lokasi | Ketersediaan |
---|---|---|---|---|
00000002009 | 895.63 SOS b | Dapat dipinjam | Perpustakaan Perguruan Muhammadiyah Cipondoh - Perpustakaan Perguruan Muhammadiyah Cipondoh | Tersedia |
Tag | Ind1 | Ind2 | Isi |
001 | INLIS000000000001099 | ||
005 | 20231114123003 | ||
007 | ta | ||
008 | 231114################|##########f#ind## | ||
020 | # | # | $a 978-602-0652-092 |
035 | # | # | $a 0010-0223000098 |
082 | # | # | $a 895.63 |
084 | # | # | $a 895.63 SOS b |
100 | 1 | # | $a Soseki |
245 | 1 | # | $a BOTCHAN /$c Natsume Soseki |
250 | # | # | $a Cet. 8 |
260 | # | # | $a Jakarta :$b Gramedia,$c 2021 |
300 | # | # | $a 224 hlm ; $c 13,5 x 20 cm |
500 | # | # | $a Novel Botchan dari Natsume Soseki ini bercerita mengenai seorang guru muda yang memberontak pada sistem pendidikan di tempatnya mengajar, sebuah sekolah di desa yang terpencil. Botchan, tokoh utama dalam novel ini, merupakan seseorang yang tinggal dan hidup di Tokyo bersama keluarga kecilnya. Sejak ia kecil, Botchan diasuh seorang pelayan tua yang bernama Kiyo. Saat anak-anak, kenalakan Botchan sangat jauh melebihi teman-temannya sehingga dia dianggap sebagai anak berandalan. Banyak orang yang tidak menyukai Botchan, mereka bahkan tidak menyayanginya seperti anak kecil yang lain. Satu-satunya orang yang memberikan perhatian kepadanya hanya Kiyo karena bagi Kiyo Botchan sudah seperti anak kandungnya sendiri. Botchan sendiri adalah nama panggilan yang memiliki arti seperti “tuan muda” namun lebih identik dengan perasaan kasih sayang. Kiyo juga satu-satunya orang yang percaya bahwa Botchan bisa menjadi orang yang sukses setelah tumbuh besar. Saat kelas 3 SMA, kedua orang tua Botchan meninggal dunia dan menjadikannya yatim piatu. Dengan bekal warisan yang tidak banyak, Botchan akhirnya menyelesaikan sekolahnya di Tokyo University of Physics. Setelah lulus, dia kemudian mendapatkan tawaran mengajar di Matsuyama, Pulau Shikoku. Matsuyama merupakan salah satu kota terpencil yang masih kental dengan budaya tradisional. Di sini, Botchan menjadi guru matematika. Sayang sekali keadaan di sekolah tersebut sangat jauh dari bayangan Botchan. Murid-muridnya bandel dan rekan gurunya cukup aneh. Beberapa rekan guru Botchan yang diceritakan dalam novel ini adalah Hotta seorang guru matematika, Koga guru olahraga, guru kepala, kepala sekolah, dan guru seni. Di Matsuyama, Botchan tinggal di kosan milik teman Hotta. Di minggu pertama Botchan mengajar, murid-muridnya sudah membuat ulah. Mereka kompak membuat tulisan-tulisan, perkataan, perbuatan, atau perbuatan untuk menjahili guru baru di kelas mereka. Lalu suatu hari, guru seni dan guru kepala mengajak Botchan memancing. Di tempat memancing, dia merasa bahwa dua rekan gurunya tersebut sedang membicarakan dirinya, kenakalan murid-muridnya, serta Pak Guru Hotta. Botchan pun tahu ada sesuatu yang tidak beres akan tetapi dia tetap diam saja. Keesokan harinya, sekolah mengadakan rapat guna membahas kejahilan yang sudah dilakukan oleh para murid. Kepala sekolah yang menjadi pemimpin rapatnya. Setelah rapat usai, Hotta mendadak meminta agar Botchan pindah tempat kos. Sejak saat itu, hubungan diantara keduanya pun jadi renggang namun Botchan masih memiliki hubungan yang baik dengan guru kepala. Botchan lalu pindah ke tempat kos teman Koga, rekan guru olahraganya. Di tempat barunya ini dia ditemani oleh seorang nenek yang tidak pernah absen memberikan ubi kepada Botchan. Awalnya Botchan bisa menerima dengan baik perlakuan nenek tersebut. Namun lama kelamaan dia menjadi kesal sendiri. Botchan mempunyai kebiasaan untuk mengunjungi pemandian air panas di kota sebelah. Suatu hari, saat hendak pergi ke kota sebelah dia bertemu guru kepala dan Koga. Mereka berangkat dengan satu kereta yang sama hanya saja berpisah di stasiun. Botchan bergegas mendatangi pemandian air panas favoritnya. Akan tetapi saat keluar, dia melihat dua bayangan manusia yang ternyata merupakan bayangan guru kepala dengan Madonna, calon istri Koga. Berita kepindahan Pak Koga ke daerah lain mendadak tersebar begitu saja dan sampai ke telinga Botchan. Dia pun mendapat kabar bahwa dirinya akan menerima tambahan gaji. Hanya saja dia menolaknya karena gaji tersebut adalah hak dari Koga. Botchan pun menanyakan kepastian tentang hal ini kepada Guru kepala, dan ternyata Koga pindah karena kemauan dirinya sendiri. Kemudian para guru mengadakan pesta untuk kepergian Koga. Di pesta ini, Botchan merasakan sesuatu yang ganjil. Dia melihat Guru kepala dan guru seni bersenang-senang dan mabuk-mabukan di pesta tersebut. Tidak ada raut sedih sama sekali di wajah keduanya. Botchan dan Hotta pun mulai merasakan ada yang sedang disembunyikan oleh Guru Kepala. Besoknya, sekolah libur karena sedang ada perayaan nasional. Para guru bersama murid berjalan ke sebuah lapangan besar. Di situ terjadi keributan antara SMA yang menjadi tempat Botchan mengajar dengan SMK lain. Sore harinya, Hotta dan Botchan mendapatkan undangan untuk melihat pesta perayaan dari adik guru Kepala. Sialnya, tawuran terjadi sekali lagi, mereka berdua coba untuk melerainya meski sia-sia saja. Sebaliknya, mereka justru jadi babak belur. Polisi pun datang dan para murid membubarkan diri. Botchan dan Hotta dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa sebagai saksi tawuran tersebut. Keesokan harinya, ada koran yang memuat berita tentang tawuran itu. Anehnya, di koran itu ditulis bahwa ada guru yang menjadi biang keladinya. Botchan dan Hotta sekali lagi harus menghadapi kesialan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Hotta pun diperintahkan untuk membuat surat pengunduran diri namun Botchan masih selamat. Hal ini justru semakin terlihat mencurigakan bagi mereka. Mereka berdua mempertanyakan kemungkinan bahwa Guru kepala lah yang melaporkan kejadian tersebut kepada koran. Botchan ikut membuat surat pengunduran diri sebagai bentuk kepedulian kepadanya kawannya, sayangnya kepala sekolah tidak menyetujui. Hotta lantas pergi dari sekolah tersebut, namun dia memutuskan untuk tinggal di kota sebelah tempat pemandian favorit Botchan berada. Dirinya ingin membalas dendam kepada Guru kepala atas kelicikan yang sudah diterimanya. Akhirnya Botchan dan Hotta memata-matai Guru kepala bersama-sama. Di suatu sore, ada dua orang geisha yang masuk ke penginapan tempat Hotta tinggal. Hotta pun memperkirakan bahwa geisha tersebut adalah sewaan guru kepala. Dan memang seperti itu kenyataannya. Pukul 10 malam, Guru kepala datang bersama guru seni ke penginapan tersebut. Di sana mereka membicarakan tentang Hotta, Botchan, dan juga Koga. Botchan dan Hotta terus menunggu sepanjang malam sampai akhirnya guru kepala dan guru seni keluar pada pukul lima pagi. Mereka mengikuti guru kepala dan guru seni sampai ke tempat yang cukup sepi. Di tempat tersebut, mereka menghajar guru kepala dengan sangat hebat. Setelah puas, mereka meninggalkan tempat sepi itu. Botchan lantas mengemasi seluruh barang-barangnya dan kembali ke Tokyo untuk menemui Kiyo. Di kota asalnya ini, Botchan mendapatkan pekerjaan yang baru sebagai teknisi kereta api. Di luar cerita kelicikan rekan gurunya tersebut, ada lagi cerita lain yang cukup menarik perhatian. Diantaranya seperti orang-orang desa yang sangat senang mencari tahu urusan orang lain. Botchan pun merasa kehidupan pribadinya direbut paksa oleh tetangga-tetanngganya itu. Ada satu kejadian di mana Botchan merasa urusan pribadinya benar-benar diganggu. Suatu saat murid-muridnya mengolok-olok Botchan karena makanan yang dimakannya satu hari sebelumnya. Hal seperti ini sangat mengganggu Botchan karena menurutnya tidak seharusnya orang-orang mencampuri urusan nya sejauh itu. Hal lain yang mengganggu Botchan adalah aturan sekolahnya yang tidak relevan sekaligus tidak efisien sama sekali. Sampai saat Botchan mengajar, ada satu tradisi turun-temurun yang masih dilakukan meskipun sebenarnya kegiatan tersebut tidak harus dilakukan. Lalu pemikiran yang kuno dan monoton membuat sekolahnya sangat sulit untuk bisa berkembang dan menjadi sekolah yang maju. Sistem yang berlaku juga belum pernah diganti alias sangat monoton. Padahal perubahan sangat diperlukan agar sekolahnya bisa menjadi sekolah yang modern. |
600 | # | 4 | $a Fiksi Jepang |
990 | # | # | $a 01972/PSMUH/Hib/2023 |
Content Unduh katalog
Karya Terkait :