Cite This        Tampung        Export Record
Judul Putri Cina / Sindhunata
Pengarang Sindhunata
EDISI Cet. 3
Penerbitan Jakarta : Gramedia, 2017
Deskripsi Fisik 304 hlm ;20 cm
ISBN 9789792230796
Subjek Fiksi Indonesia
Catatan Putri Cina merasa risau dengan keadaan dirinya sendiri. Dia hidup di tanah Jawa namun secara fisik dia berbeda. Dia memang keturunan Cina, namun di kalangan orang Cina sendiri, dia tidaklah termasuk Cina karena tidak besar dan lahir di Cina. Dia bahkan tidak bisa berbahasa Cina. Namun, dia kemudian mengingat kisah, tentang keberadaan dirinya. Menurut dongeng Jawa, dia adalah istri Prabu Brawijaya kelima. Ketika Prabu Brawijaya jalan di kampung, dia melihat ada janda, kemudian menidurinya. Janda itu melahirkan seorang anak bernama Jaka Prabangkara. Dia pandai melukis, maka disuruhlah untuk melukis Putri Cempa. Setelah lukisan jadi, ternyata ada noda hitam di sekitar kemaluan Putri Cempa. Brawijaya menuduh, kalau anaknya itu sudah pernah bersetubuh dengan permasurinya sehingga tahu benar letak noda tersebut. Akhirnya, Jaka Prabangkara diusir, dengan menerbangkan layang-layang raksasa, lantas dia terdampar di Cina dan ditemukan oleh pasangan yang tak punya anak. Maka, Jaka Prabangkara diangkatnya menjadi anak, dia menjadi terkenal, karena pandai melukis. Kemasyuran Jaka Prabangkara sampai ke Kaisar Cina, dia diangkat menjadi cucu kemudian dinikahkan dengan cucu Kaisar Cina sekaligus putri orang tua angkatnya. Putri Cina yang merupakan putri Kaisar Cina kemudian dinikahkan dengan Raja Majapahit, namun kemudian bercerai. Oleh Raja Majapahit, Putri Cina diberikan kepada putranya, Arya Damar yang memerintah di Palembang. Saat diceraikan usia dalam kandungan Putri Cina berumur 7 bulan. Tak berapa lama di Palembang Putri Cina melahirkan putra yang dinamakan Raden Patah. Dia juga melahirkan satu orang putra lagi bernama Raden Kusen. Arya Damar ingin Raden Patah menggantikannya menjadi raja, namun Raden Patah menolak. Dia kemudian pergi diam-diam. Hal ini diikuti oleh adiknya Raden Kusen. Sesampainya di Jawa, mereka berdua bertemu dengan Sunan Ngampel dan berguru kepadanya. Setelah lama di sana, Raden Kusen mengingatkan pada Raden Patah, bahwa tujuan mereka ke Jawa adalah untuk menemui Prabu Brawijaya. Namun Raden Patah berniat untuk menetap, sedangkan Raden Kusen melanjutkan perjalanan dan oleh Brawijaya diangkat menjadi Adipati Terung. Suatu ketika, Raden Patah berniat mendirikan sebuah padepokan, maka oleh Sunan Ngampel dia ditunjukkan sebuah tempat bernama Bintara. Makin lama Bintara makin masyhur, kemasyhuran ini smapai ke Majapahit. Dia diminta untuk menemui Brawijaya. Raja Brawijaya sangat senang. Dia bahkan menghadiahi pasukan dan mengakui kekuasaan Bintara. Tak lama setelah itu, karena keinginan menyebarkan agama, maka Raden Patah berhasil menaklukan Majapahit, yang merupakan kerajaan milik ayahnya sendiri. Keruntuhan Majapahit disambut senang hati oleh Putri Cina, karena dia pernah terluka oleh sikap Prabu Brawijaya. Namun, dia juga merasa seidh karena anaknya sendirilah yang melakukan kudeta. Mengetahui anaknya menjadi raja di Puau Jawa, maka dia bertekad untuk menyusul. Namun, begitu sampai di Majapahit, dia mendapati bahwa kerajaan itu sudah tak berpenghuni lagi, tinggal sejarah. Di situlah dia bertemu dengan Loro Cemplon, pelayannya dulu. Dari Cemplon dia mendengar kabar bahwa Sabdopalon Nayagenggong, abdinya yang paling setia sudah tidak berada di Majapahit. Dia sudah ke Banyuwangi untuk murca. Di Banyuwangilah, kemudian dia bertemu dengan abdinya tersebut. Sabdopalon Nayagenggong, kemudian menceritakan, bahwa pertumpaahan di tanah Jawa sebenarnya tumbal sejak lama, bahkan sejak para dewa belum diturunkan. Hal ini diawali ketika Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya berebut kekuasaan. Sang Hyang Tunggal marah kemudian menegur mereka. Ismaya menjadi Semar dan Antaga menjadi Togog. Sabdopalon Nyaagenggong sendiri merasa bersalah atas pertikaian yang terjadi antara Brawijaya dengan Patah, maka dari itu dia ingin murca. Dia juga mengaku sebagai Semar. Untuk itulah, dia mengatakan, dia perlu bertanggungjawab atas semua ini. Setelah Sabdopalon Nayagenggong murca, Putri Cina melanjutkan perjalanan ke Tuban. Di sanalah dia berpisah dengan Cemplon. Dalam perjalanannya Putri Cina merasa senang bahwasannya dia melihat kaumnya serba berkecukupan. Namun, kemudian dia khawatir, karena sekarang kaumnya sangat mementingkan harta yang notabene akan menjadi bumerang untuk diri mereka sendiri. Dalam babak baru, Putri Cina melihat adanya kerajaan baru dinamakan Medangkamulan. Dulu kerajaan ini tercipta karena Ajisaka dapat mengalahkan Dewatacengkar yang lalim. Awalnya Negeri Medangkamulan Baru, yang dipimpin oleh Prabu Murhardo sangat aman tentram, dan sejahtera. Rakyat sangat mencintai raja mereka. Namun, lambat laun, raja menunjukkan gelagat yang buruk. Dia mulai dikuasai oleh nafsu mempertahankan kekuasaan. Dia juga mulai memerintah dengan penuh kekerasan, bahkan terhadap rakyatnya sendiri. Tersiar kabar bahwa dalam menjalankan kepemimpinan, dia dibantu oleh kekuatan gaib. Dia memiliki keris bernama Kyai Pesat Nyawa, sebuah pusaka yang haus akan pertumpahan darah. Dia mempercayakan keris itu pada senapatinya bernama Gurdo Paksi. Dalam menjalankan pemerintahan dia dikelilingi anak buah yang penjilat dan licik, sebut saja patihnya sendiri bernama Patih Wrehonegoro dan juga Lurah Prajurit Tumenggung Joyo Sumengah. Prabu Amurco Sabdo (semenjak lalim Prabu Murhardo diganti namanya oleh rakyat) sebenarnya tahu kalau ada persaingan antar bawahannya, namun dia memilih membiarkan. Mengetahui hal ini, Putri Cina merasa khawatir, karena setiap kali terjadi kerusuhan maka bangsanya selalu menjadi korban. Memang benar, di awal para penguasa nampak mendukung golongan Cina, karena orang Cina dinilai menguntungkan secara materi. Namun, ketika situasi tidak terkendali, maka penguasa akan mengorbankan orang Cina, dan melakukan provokasi, bahwa Cina adalah orang-orang yang rakus, serta pelit tidak peduli dengan masyarakat pribumi. Taktik ini pula yang kemudian dijalankan oleh Prabu Amurco Sabdo, ketika patihnya Gurdo Paksi tak mau menjalankan perintah untuk mengkambinghitamkan orang Cina. Karena istri Gurdo Paksi sendiri orang China, bernama Giok Tien. Giok Tien jaman mudanya dikenal sebagai seorang pemain kethoprak yang termasyhur. Banyak orang berusaha untuk mendekati dia, tak terkecuali Tumenggung Joyo Sumengah. Namun ternyata, Giok Tien lebih memilih Gurdo Paksi sebagai pendamping hidupnya. Kisah persaingan inilah yang kemudian menyulut dendam Joyo Sumengah hingga ajal. Karena Gurdo Paksi tak ingin lagi ada kekerasan, maka dia menyerahkan pusaka Pesat Nyawa kepada Prabu Amurca Sabda. Dia memilih untuk mengendalikan suasana dengan damai. Namun, pihak Joyo Sumengah secara diam-diam memperkeruh masyarakat dan terus membuat provokasi, agar seluruh orang Cina disingkirkan. Joyo Sumengah juga secara diam-diam membunuh kedua kakak Giok Tien menggunakan keris Pesat Nyawa. Dia kemudian berhasil membujuk Giok Tien untuk ikut ke istana, dengan alasan Gurdo Paksi sudah tidak bisa mengendalikan suasana. Ternyata, sampai di istana, Joyo Sumengah hanya ingin memperkosa Giok Tien. Untunglah, Prabu Amurca Sabdo mengetahui hal ini, sehingga dia dapat menyelamatkan Giok Tien. Namun sesampainya di kamar, Prabu Amurco Sabdo merasa terangsang, sehingga dia pun memaksa Giok Tien untuk bersetubuh. Giok Tien tidak dapat melawan. Persetubuhan ini secara diam-diam disaksikan oleh Tumenggung Joyo Sumengah, bahkan kemudian karena diancam oleh Joyo Sumengah, Prabu Amurco Sabdo mempersilahkan Joyo Sumengah untuk menyetubuhi Giok Tien. Sementara itu, di tempat lain Gurdo Paksi yang mati-matian meredam susana tak berhasil, banyak sekali orang China yang menjadi korban. Dia menjadi orang yang pertama kali disalahkan atas segala kerusuhan ini, terutama oleh masyarakat. Masyarakat meminta dia untuk turun, dan tak lagi memegang jabatan sebagai orang yang menjaga keamanan. Bahkan dia baru tahu kalau kakak iparnya telah dibunuh orang, dengan keris Pesat Nyawa menancap di tubuhnya. Maka, masyarakat langsung menuduh Gurdo Paksi sebagai seorang pembunuh, karena masyarakat tahu bahwa satu-satunya orang yang memegang pusaka itu hanyalah Gurdo Paksi. Gurdo Paksi yang tak merasa bersalah, kemudian ingin meminta keadilan kepada Prabu Amurco Sabdo. Dengan kemarahan, dia mendatangi istana. Di sanalah, dia kemudian menyaksikan Tumenggung Jaya Sumengah hendak menyetubuhi istrinya, maka marahlah dia. Setelah tahu suaminya tak bersalah, maka Giok Tien, mengancam raja dan tumenggungnya itu, dengan cara mengumumkan apa yang telah diperbuat oleh dua orang pembesar tersebut. Hal ini menyiutkan nyali keduanya. Maka, sebagai gantinya, Gurdo Paksi meminta, Prabu Amurco Sabdo untuk turun tahta, begitu pun dirinya, akan turun tahta sebagai Senapati Perang. Hal ini mendapatkan persetujuan, maka Amurco Sabdo pun mencari penggantinya. Orang tersebut adalah Prabu Aryo Sabrang, yang notabene masih kerabat dekatnya. Berbeda dengan Amurco Sabdo, Aryo Sabrang memerintah dengan arif dan bijaksana. Dia juga meninggalkan cara-cara kekerasan. Sementara itu, Tumenggung Jaya Sumengah masih terus menyimpan dendam terhadap Gurdo Paksi. Maka ketika Gurdo Paksi dan Giok Tien sedang berziarah ke makan dua orang kakanya, Jaya Sumengah menyerang dengan menggunakan anak paah. Tewaslah kedua orang tersebut dan terbang menjadi kupu-kupu. Jaya Sumengah sendiri, kemudian menyesal dan bunuh diri.
Bahasa Indonesia
Bentuk Karya Novel
Target Pembaca Remaja

 
No Barcode No. Panggil Akses Lokasi Ketersediaan
00000000102 899.221 3 SIN p Dapat dipinjam Perpustakaan Perguruan Muhammadiyah Cipondoh - SMA Muhammadiyah 2 Kota Tangerang Tersedia
Tag Ind1 Ind2 Isi
001 INLIS000000000000070
005 20210610103051
007 ta
008 210610################d##########f#ind##
020 # # $a 9789792230796
035 # # $a 0010-0621000035
082 # # $a 899.221 3
084 # # $a 899.221 3 SIN p
100 0 # $a Sindhunata
245 1 # $a Putri Cina /$c Sindhunata
250 # # $a Cet. 3
260 # # $a Jakarta :$b Gramedia,$c 2017
300 # # $a 304 hlm ; $c 20 cm
500 # # $a Putri Cina merasa risau dengan keadaan dirinya sendiri. Dia hidup di tanah Jawa namun secara fisik dia berbeda. Dia memang keturunan Cina, namun di kalangan orang Cina sendiri, dia tidaklah termasuk Cina karena tidak besar dan lahir di Cina. Dia bahkan tidak bisa berbahasa Cina. Namun, dia kemudian mengingat kisah, tentang keberadaan dirinya. Menurut dongeng Jawa, dia adalah istri Prabu Brawijaya kelima. Ketika Prabu Brawijaya jalan di kampung, dia melihat ada janda, kemudian menidurinya. Janda itu melahirkan seorang anak bernama Jaka Prabangkara. Dia pandai melukis, maka disuruhlah untuk melukis Putri Cempa. Setelah lukisan jadi, ternyata ada noda hitam di sekitar kemaluan Putri Cempa. Brawijaya menuduh, kalau anaknya itu sudah pernah bersetubuh dengan permasurinya sehingga tahu benar letak noda tersebut. Akhirnya, Jaka Prabangkara diusir, dengan menerbangkan layang-layang raksasa, lantas dia terdampar di Cina dan ditemukan oleh pasangan yang tak punya anak. Maka, Jaka Prabangkara diangkatnya menjadi anak, dia menjadi terkenal, karena pandai melukis. Kemasyuran Jaka Prabangkara sampai ke Kaisar Cina, dia diangkat menjadi cucu kemudian dinikahkan dengan cucu Kaisar Cina sekaligus putri orang tua angkatnya. Putri Cina yang merupakan putri Kaisar Cina kemudian dinikahkan dengan Raja Majapahit, namun kemudian bercerai. Oleh Raja Majapahit, Putri Cina diberikan kepada putranya, Arya Damar yang memerintah di Palembang. Saat diceraikan usia dalam kandungan Putri Cina berumur 7 bulan. Tak berapa lama di Palembang Putri Cina melahirkan putra yang dinamakan Raden Patah. Dia juga melahirkan satu orang putra lagi bernama Raden Kusen. Arya Damar ingin Raden Patah menggantikannya menjadi raja, namun Raden Patah menolak. Dia kemudian pergi diam-diam. Hal ini diikuti oleh adiknya Raden Kusen. Sesampainya di Jawa, mereka berdua bertemu dengan Sunan Ngampel dan berguru kepadanya. Setelah lama di sana, Raden Kusen mengingatkan pada Raden Patah, bahwa tujuan mereka ke Jawa adalah untuk menemui Prabu Brawijaya. Namun Raden Patah berniat untuk menetap, sedangkan Raden Kusen melanjutkan perjalanan dan oleh Brawijaya diangkat menjadi Adipati Terung. Suatu ketika, Raden Patah berniat mendirikan sebuah padepokan, maka oleh Sunan Ngampel dia ditunjukkan sebuah tempat bernama Bintara. Makin lama Bintara makin masyhur, kemasyhuran ini smapai ke Majapahit. Dia diminta untuk menemui Brawijaya. Raja Brawijaya sangat senang. Dia bahkan menghadiahi pasukan dan mengakui kekuasaan Bintara. Tak lama setelah itu, karena keinginan menyebarkan agama, maka Raden Patah berhasil menaklukan Majapahit, yang merupakan kerajaan milik ayahnya sendiri. Keruntuhan Majapahit disambut senang hati oleh Putri Cina, karena dia pernah terluka oleh sikap Prabu Brawijaya. Namun, dia juga merasa seidh karena anaknya sendirilah yang melakukan kudeta. Mengetahui anaknya menjadi raja di Puau Jawa, maka dia bertekad untuk menyusul. Namun, begitu sampai di Majapahit, dia mendapati bahwa kerajaan itu sudah tak berpenghuni lagi, tinggal sejarah. Di situlah dia bertemu dengan Loro Cemplon, pelayannya dulu. Dari Cemplon dia mendengar kabar bahwa Sabdopalon Nayagenggong, abdinya yang paling setia sudah tidak berada di Majapahit. Dia sudah ke Banyuwangi untuk murca. Di Banyuwangilah, kemudian dia bertemu dengan abdinya tersebut. Sabdopalon Nayagenggong, kemudian menceritakan, bahwa pertumpaahan di tanah Jawa sebenarnya tumbal sejak lama, bahkan sejak para dewa belum diturunkan. Hal ini diawali ketika Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya berebut kekuasaan. Sang Hyang Tunggal marah kemudian menegur mereka. Ismaya menjadi Semar dan Antaga menjadi Togog. Sabdopalon Nyaagenggong sendiri merasa bersalah atas pertikaian yang terjadi antara Brawijaya dengan Patah, maka dari itu dia ingin murca. Dia juga mengaku sebagai Semar. Untuk itulah, dia mengatakan, dia perlu bertanggungjawab atas semua ini. Setelah Sabdopalon Nayagenggong murca, Putri Cina melanjutkan perjalanan ke Tuban. Di sanalah dia berpisah dengan Cemplon. Dalam perjalanannya Putri Cina merasa senang bahwasannya dia melihat kaumnya serba berkecukupan. Namun, kemudian dia khawatir, karena sekarang kaumnya sangat mementingkan harta yang notabene akan menjadi bumerang untuk diri mereka sendiri. Dalam babak baru, Putri Cina melihat adanya kerajaan baru dinamakan Medangkamulan. Dulu kerajaan ini tercipta karena Ajisaka dapat mengalahkan Dewatacengkar yang lalim. Awalnya Negeri Medangkamulan Baru, yang dipimpin oleh Prabu Murhardo sangat aman tentram, dan sejahtera. Rakyat sangat mencintai raja mereka. Namun, lambat laun, raja menunjukkan gelagat yang buruk. Dia mulai dikuasai oleh nafsu mempertahankan kekuasaan. Dia juga mulai memerintah dengan penuh kekerasan, bahkan terhadap rakyatnya sendiri. Tersiar kabar bahwa dalam menjalankan kepemimpinan, dia dibantu oleh kekuatan gaib. Dia memiliki keris bernama Kyai Pesat Nyawa, sebuah pusaka yang haus akan pertumpahan darah. Dia mempercayakan keris itu pada senapatinya bernama Gurdo Paksi. Dalam menjalankan pemerintahan dia dikelilingi anak buah yang penjilat dan licik, sebut saja patihnya sendiri bernama Patih Wrehonegoro dan juga Lurah Prajurit Tumenggung Joyo Sumengah. Prabu Amurco Sabdo (semenjak lalim Prabu Murhardo diganti namanya oleh rakyat) sebenarnya tahu kalau ada persaingan antar bawahannya, namun dia memilih membiarkan. Mengetahui hal ini, Putri Cina merasa khawatir, karena setiap kali terjadi kerusuhan maka bangsanya selalu menjadi korban. Memang benar, di awal para penguasa nampak mendukung golongan Cina, karena orang Cina dinilai menguntungkan secara materi. Namun, ketika situasi tidak terkendali, maka penguasa akan mengorbankan orang Cina, dan melakukan provokasi, bahwa Cina adalah orang-orang yang rakus, serta pelit tidak peduli dengan masyarakat pribumi. Taktik ini pula yang kemudian dijalankan oleh Prabu Amurco Sabdo, ketika patihnya Gurdo Paksi tak mau menjalankan perintah untuk mengkambinghitamkan orang Cina. Karena istri Gurdo Paksi sendiri orang China, bernama Giok Tien. Giok Tien jaman mudanya dikenal sebagai seorang pemain kethoprak yang termasyhur. Banyak orang berusaha untuk mendekati dia, tak terkecuali Tumenggung Joyo Sumengah. Namun ternyata, Giok Tien lebih memilih Gurdo Paksi sebagai pendamping hidupnya. Kisah persaingan inilah yang kemudian menyulut dendam Joyo Sumengah hingga ajal. Karena Gurdo Paksi tak ingin lagi ada kekerasan, maka dia menyerahkan pusaka Pesat Nyawa kepada Prabu Amurca Sabda. Dia memilih untuk mengendalikan suasana dengan damai. Namun, pihak Joyo Sumengah secara diam-diam memperkeruh masyarakat dan terus membuat provokasi, agar seluruh orang Cina disingkirkan. Joyo Sumengah juga secara diam-diam membunuh kedua kakak Giok Tien menggunakan keris Pesat Nyawa. Dia kemudian berhasil membujuk Giok Tien untuk ikut ke istana, dengan alasan Gurdo Paksi sudah tidak bisa mengendalikan suasana. Ternyata, sampai di istana, Joyo Sumengah hanya ingin memperkosa Giok Tien. Untunglah, Prabu Amurca Sabdo mengetahui hal ini, sehingga dia dapat menyelamatkan Giok Tien. Namun sesampainya di kamar, Prabu Amurco Sabdo merasa terangsang, sehingga dia pun memaksa Giok Tien untuk bersetubuh. Giok Tien tidak dapat melawan. Persetubuhan ini secara diam-diam disaksikan oleh Tumenggung Joyo Sumengah, bahkan kemudian karena diancam oleh Joyo Sumengah, Prabu Amurco Sabdo mempersilahkan Joyo Sumengah untuk menyetubuhi Giok Tien. Sementara itu, di tempat lain Gurdo Paksi yang mati-matian meredam susana tak berhasil, banyak sekali orang China yang menjadi korban. Dia menjadi orang yang pertama kali disalahkan atas segala kerusuhan ini, terutama oleh masyarakat. Masyarakat meminta dia untuk turun, dan tak lagi memegang jabatan sebagai orang yang menjaga keamanan. Bahkan dia baru tahu kalau kakak iparnya telah dibunuh orang, dengan keris Pesat Nyawa menancap di tubuhnya. Maka, masyarakat langsung menuduh Gurdo Paksi sebagai seorang pembunuh, karena masyarakat tahu bahwa satu-satunya orang yang memegang pusaka itu hanyalah Gurdo Paksi. Gurdo Paksi yang tak merasa bersalah, kemudian ingin meminta keadilan kepada Prabu Amurco Sabdo. Dengan kemarahan, dia mendatangi istana. Di sanalah, dia kemudian menyaksikan Tumenggung Jaya Sumengah hendak menyetubuhi istrinya, maka marahlah dia. Setelah tahu suaminya tak bersalah, maka Giok Tien, mengancam raja dan tumenggungnya itu, dengan cara mengumumkan apa yang telah diperbuat oleh dua orang pembesar tersebut. Hal ini menyiutkan nyali keduanya. Maka, sebagai gantinya, Gurdo Paksi meminta, Prabu Amurco Sabdo untuk turun tahta, begitu pun dirinya, akan turun tahta sebagai Senapati Perang. Hal ini mendapatkan persetujuan, maka Amurco Sabdo pun mencari penggantinya. Orang tersebut adalah Prabu Aryo Sabrang, yang notabene masih kerabat dekatnya. Berbeda dengan Amurco Sabdo, Aryo Sabrang memerintah dengan arif dan bijaksana. Dia juga meninggalkan cara-cara kekerasan. Sementara itu, Tumenggung Jaya Sumengah masih terus menyimpan dendam terhadap Gurdo Paksi. Maka ketika Gurdo Paksi dan Giok Tien sedang berziarah ke makan dua orang kakanya, Jaya Sumengah menyerang dengan menggunakan anak paah. Tewaslah kedua orang tersebut dan terbang menjadi kupu-kupu. Jaya Sumengah sendiri, kemudian menyesal dan bunuh diri.
600 # 4 $a Fiksi Indonesia
990 # # $a 00096/PSMUH/Bos/2020
Content Unduh katalog